Sebuah wadah untuk menambah rasa cinta tanah air, peduli terhadap KKN, untuk meningkatkan moral bangsa

Kamis, 01 Mei 2014

MENYOAL UNTUNG - RUGI UJIAN NASIONAL

MENYOAL UNTUNG - RUGI UJIAN NASIONAL
Surat  dari Pak Guru buat Pak MENDIKBUD

D
ua minggu terakhir ini, pak Guru begitu dia  biasa dipanggil, nampak tidak seperti biasanya. Beliau  nampak resah, gelisah gerak langkahnya tidak terarah serta tatap matanya menerawang jauh entah kemana. Melihat kondisi diluar kewajaran ini penulis mencoba mendekati dan menanyakan apa yang sedang terjadi dengannya. Dengan  penuh semangat, terus nerocos jawaban yang keluar dari bibir pak guru bagai air bah yang sulit dibendung. “Ia mas betul apa yang sampean tanyakan tadi”, itulah jawaban pertama yang keluar dari bibir tua hitam itu. Setiap tahun menjelang digelarnya UN hati dan pikiran saya pasti seperti ini. Bingung, resah, gelisah bercampur tertekan, tiap malam sulit memejamkan mata hingga di sekolah saya kurang semangat bahkan tidak bergairah seperti biasanya. Maklum saja karena sudah beberapa tahun beliau memendam beban psikologis yang amat berat untuk disampaikan langsung pada MENDIKBUD masalah-masalah yang ada kaitannya dengan “hajatan nasional” yang ber titel  “Ujian Nasional” .
Ujian Nasional (UN), merupakan  sebuah  acara yang perhelatannya melibatkan banyak pihak dan memeras segala energi, baik tenaga, pikiran dan biaya yang luar biasa besarnya, baik dari pemerintah ( tahun 2012 Rp 600 M ) dan tidak kalah banyaknya uang  masyarakat/orang tua siswa. Hajatan yang membuat banyak orang susah, cemas,  stres, banyak orang yang kesana-kemari mencari uang pinjaman untuk biaya hajatan, banyak orang tua/wali murid yang harus menangis dihadapan kepala sekolah untuk memohon anaknya dapat mengikuti ujian karena belum dapat melunasi pembayaran. Banyak  orang menjadi curang,  kepala sekolah dan guru menjadi pencuri kertas berharga dokumen negara. Membuat  guru jadi pesakitan polisi yang harus diawasi,   kepala sekolah, kepala bidang, kepala dinas serta kepala daerah mempertaruhkan jabatan.  
Oleh  sebab itu walaupun beliau paham kalau permasalahan ini kurang etis disampaikan ke publik, serta naluri sebagai guru tidak menghendaki, namun beliau tetap meminta penulis untuk menyampaikan hal ini kepada Pak Menteri  melalui surat terbuka, karena lewat surat sudah beberapa kali disampaikan, namun tak sekalipun dapat tanggapan atau memang tidak sampai dimeja beliau.makanya dengan memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak khususnya pak Menteri, agar berkenan memahami betapa masalah UAN ini sangat penting untuk tetap disampaikan karena hal ini merupakan masalah generasi bangsa yang menentukan masa depan bangsa dan Negara ini.
“Ujian nasional sangat diperlukan sebagai alat ukur keberhasilan pendidikan dan sebagai acuan untuk perbaikan pendidikan kedepan, ujian nasional sudah tidak perlu lagi dipersoalkan, ujian nasional sudah final jika dipandang perlu sistemnya yang harus disempurnakan”. Kurang  lebih seperti itulah kata-kata Pak Menteri setiap pidato mengenahi ujian nasional yang diingatnya. Beliaupun setuju saja kalau ujian nasional tetap diadakan, tetapi  sangat perlu ditata kembali disemua aspek, juga harus ditinjau kembali untung dan ruginya dan dilakukan penelitian dengan cermat.
Ada beberapa hal yang perlu Bapak menteri ketahui dari digelarnya ujian nasional. Jujur  saja kalau keuntungan  tidak ada sama sekali kata pak guru, kecuali keuntungan finansial bagi pemenang tender pengadaan segala kebutuhan pelaksanaan UN, mulai dari pengadaan soal, kaset soal bahasa inggris untuk SLTA, koreksi hasil ujian,  atau bagi pihak-pihak yang dapat cipratan berkah rejeki dari pelaksanaan UN tersebut. Sehingga di kalangan pendidikan ada guyonan istilah  haji Sueb atau haji susuk ebta (sekarang UN). Tetapi kalau mau tahu kerugiannya sangat banyak sekali kata beliau, diantaranya ;
Pertama: Sangat menghambur-hamburkan uang dan menjadi lahan empuk untuk mengeruk keuntungan pribadi.   Walaupun  pemerintah sering gembar gembor UN tidak boleh memungut biaya lagi kepada siswa, namun apapun caranya pasti sekolah memungut biaya  dan jumlahnya dapat dipastikan diatas 500 ribu rupiah untuk sekolah tingkat atas. Hal
ini disebabkan bantuan pemerintah untuk pelaksanaan UN yang ke sekolah penyelenggara disamping jumlahnya jauh dari kebutuhan riil, juga bantuan turunnya setelah selesai pelaksanaan ujian. Sehingga  tidak ada alasan pemerintah melarang sekolah memungut biaya kepada siswa dan hal tersebut sangat rentan dengan muatan-muatan kepentingan yang  memberatkan siswa.    Belum lagi yang memanfaatkan  momen UN ini sebagai proyek pengadaan try out bersama, proyek tambahan pelajaran/les, proyek pengadaan alat tulis UN dan lain sebagainya.
Kedua: UN menjadi pemicu banyak orang menghalalkan segala cara,  berpikiran irasional dan klenik yang menyesatkan, curang, tidak jujur, penipu, jadi pencuri, melakukan pembohongan publik, pembodohan rakyat dan melakukan  sumpah palsu.  Kenapa demikian,  jawabnya siapa yang mau tidak lulus sekolah, siapa yang mau dimutasi atau dicopot dari jabatannya karena tingkat kelulusannya rendah, siapa yang mau sekolahnya tidak dapat siswa, sekolahnya rusak karena dilempari batu dari siswanya yang tidak lulus,  siapa yang mau dibilang daerahnya kualitas pendidikannya rendah, tentu semua tidak ada yang mau. Itulah sebabnya sebelum UN digelar, banyak pimpinan sekolah, guru dan wali kelas yang disibukkan dengan mengubah nilai raport agar dapat mengangkat nilai siswa, padahal nilai itu merupakan cermin dari kemampuan peserta didik. Sudah dapat dipastikan siswa  yang pandai dan sekolah yang benar-benar menerapkan aturan dengan tertib sangat dirugikan.   
Ketiga : Jika hasil UN tidak satu-satunya yang menentukan kelulusan siswa, karena masih juga harus dilihat nilai ujian sekolah dan akhlaq siswa, maka seharusnya lebih dari separo siswa negeri ini tidak lulus. Karena  sudah menjadi rahasia umum jika semua unsur sekolah juga siswa telah sepakat untuk cari bocoran jawaaban, saling contek dan masih banyak pelanggaran lagi seperti yang terilis di media masa.  Bukankah hal ini merupakan cermin moral yang tidak baik dan seharusnya  menjadikan siswa tidak lulus dan sangat kontra produktif dengan tujuan pendidikan nasional. Ibarat pribahasa, panas tiga tahun dihapus hujan tiga hari.

D
isamping pemborosan dan menghamburkan dana yang luar biasa besarnya, menyengsarakan banyak pihak, merusak moral/ahlak/karakter  khususnya peserta didik serta menjadi kontra produktif dengan tujuan pendidikan nasional, UN masih banyak lagi kerugiannya yakni :
Keempat: Hasil  UN yang diharapkan jadi barometer pendidikan sekaligus sebagai bahan kajian untuk menentukan kebijakan pendidikan ke depan,  justru akan lebih memperparah masa depan dunia pendidikan kita. Bagaimana  tidak potret wajah pendidikan yang dihasilkan dari hasil UN tidak menunjukkan potret sebenarnya yang jika dijadikan data untuk pengambilan kebijakan maka sudah pasti kebijakan yang  diambil salah. Secanggih apapun alat yang digunakan, rumus apapun yang diterapkan dan dikerjakan oleh pakar sekalipun kalau data yang dimasukkan salah hasilnya pasti salah.  Coba  kita pikir, hasil try out  kabupaten/kota yang sempat dirilis di media masa hampir seluruhnya menunjukkan tingkat kelulusan berkisar antara 10% sampai 30% saja, tetapi  tidak ada yang heran ketika mengetahui hasil UN diatas 90% bahkan mendekati 100%. Mana mungkin dalam waktu sekejab kemampuan siswa berubah begitu drastis.
Kelima: Evaluasi  pelaksanaan UN belum dilakukan secara optimal kecuali evaluasi nilai yang berbentuk angka-angka. Bagaimana psikologis sekolah, pimpinan sekolah, guru dan siswa ketika mereka harus diawasi oleh seorang polisi bagai pesakitan. Bagaimana  keluhan orang tua siswa yang harus menjual barang miliknya, cari hutangan ke sana ke mari, bagaimana dengan siswa yang pandai dalam satu bidang dan lemah dalam bidang yang lain, bagaimana dengan kondisi siswa yang sakit pada saat pelaksanaan UN yang hanya sebagian kecil dari waktu belajar mereka selama 3 tahun, bagaimana dengan penyimpangan yang terjadi saat UN, bagaimana dengan  pemborosan biaya pelaksanaan UN.  Contoh  kaset soal ujian  bahasa inggris untuk SLTA, kenapa tidak didata dahulu sekolah yang sudah pararel/sentral yang berarti hanya membutuihkan satu atau dua keping kaset saja  dengan cadangannya.  Berapa  kaset yang sia-sia yang berarti berapa rupiah yang terbuang percuma. Benar  juga kata orang,  kita itu miskin tapi tidak hemat berarti kita itu sok kaya atau sombong. Kita  tidak pandai mencari income tapi sangat pandai menghabiskan, kita tidak pandai untuk memberi pada negeri ini tetapi kita sangat rajin untuk menggrogoti.
Keenam : Yang perlu disadari oleh semua pihak, secara realita kondisi sarana dan prasarana pembelajaran di negeri ini masih sangat jauh dari standar yang benar, kalau toh ada yang sudah standar itupun jumlahnya masih sebatas beberapa sekolah saja. Terlebih standar tenaga pendidiknya, masih jauh dari standar kompetensi yang disaratkan. Hal ini diketahui dari hasil UK nasional yang nilai rata-rata nasional 42,25 bahkan masih ada yang dari soal 100 hanya benar 1 saja. Nah kalau gurunya saja masih dapat nilai 42,25 masak iya muridnya dituntut lebih dari itu.
Masih banyak lagi kalau mau meneliti satu persatu kerugian UN kata pak guru. Dan kalau Pak Menteri mengetahui kondisi yang susungguhnya pasti beliau tidak pernah bisa tidur,  terus menangis sedih dan langsung merubah kebijakan UN. Saya  yakin pak Menteri yang notabenenya seorang Kyai tidak mau urusan akhlaq/moral/karakter yang menjadi pilar bangsa ini serta menentukan kehidupan akhirat ditukar dengan kepentingan duniawi yang berbentuk angka dan bersifaat sesaat. Untuk itu pak guru punya usul lebih baik UN ditiadakan atau hanya dipakai masukan standar hasil pendidikan tetapi tidak mempengaruhi kelulusan siswa.
 Jika  UN tidak digunakan sebagai standar kelulusan, maka sekolah dan guru lebih berwibawa, tanpa harus diawasi tim pemantau independen dan dijaga polisi, dapat  dipastikan tidak ada lagi sekolah, guru dan siswa sepakat untuk berbuat curang karena mereka tidak takut tidak lulus.  Hasil  UN benar-benar dapat membedakan kualitas lulusan sebuah sekolah, dapat digunakan untuk seleksi masuk kejenjang sekolah yang lebih tinggi. Pasar  kerja pemakai jasa lulusan sekolah semakin mudah memilih dan para siswa semakin betul-betul dihargai kemampuannya.
Hasil   UN yang diharapkan sebagai data awal untuk menentukan strategi pendidikan ke depan benar-benar mendekati akurat,,  olahan data yang dihasilkan  juga akan dapat akurat, maka langkah yang diambil  akan lebih tepat  sasaran dan kemajuan pendidikan nasional yang kita harapkan akan dapat terwujud.
Dari segi keilmuan pak guru tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan pak menteri, tetapi kalau pengalaman lapangan di dunia pendidikan dasar dan menengah pak guru amat paham betul karena hampir sudah seperempat abad bergelut dengan keadaan yang ada di dunia pendidikan ini. Namun demikian bukan berarti ingin mengguruhi pak menteri yang selama ini sangat dikagumi pak guru.
Kalau Mahkama Agung saja merekomendasi dihapusnya UN, banyak para pakar dan pemerhati pendidikan tidak setuju dengan UN terlebih masyarakat luas. Ada apa kok kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap ngotot UN terus diadakan. Adakah tujuan lain dibalik itu semua.  wallahu a’lam.
Wahai pak Menteri, kepala dinas pendidikan dan para pejabat yang terkait, berhentilah membual, berbohong dan terus berpura-pura.  Sadarilah perilaku bapak menjadi bahan tertawaan para siswa, guru dan wali murid. Sadarlah UN yang bapak perjuangkan mati-matian akan menjadi tanaman beracun yang akan merusak negeri ini.
Yang paling akhir, perlu diketahui Pak Menteri, sekarang memang orde reformasi tetapi peninggalan orde baru masih sangat banyak, sehingga budaya ABS, pura-pura baik, pura-pura taat, dan kebohongan publik masih banyak di negeri ini termasuk di jajaran kementrian yang bapak pimpin. Seandainya menjadi Wastle blower di negeri ini dapat merubah kebijakan, pak guru amat tidak keberatan untuk melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar