MENYOAL
UNTUNG - RUGI UJIAN NASIONAL
Surat dari Pak Guru buat Pak MENDIKBUD
D
|
ua minggu terakhir ini, pak Guru
begitu dia biasa dipanggil, nampak tidak
seperti biasanya. Beliau nampak resah,
gelisah gerak langkahnya tidak terarah serta tatap matanya menerawang jauh
entah kemana. Melihat kondisi diluar kewajaran ini penulis mencoba mendekati
dan menanyakan apa yang sedang terjadi dengannya. Dengan penuh semangat, terus nerocos jawaban yang
keluar dari bibir pak guru bagai air bah yang sulit dibendung. “Ia mas betul apa yang sampean tanyakan tadi”,
itulah jawaban pertama yang keluar dari bibir tua hitam itu. Setiap tahun
menjelang digelarnya UN hati dan pikiran saya pasti seperti ini. Bingung,
resah, gelisah bercampur tertekan, tiap malam sulit memejamkan mata hingga di sekolah
saya kurang semangat bahkan tidak bergairah seperti biasanya. Maklum saja
karena sudah beberapa tahun beliau memendam beban psikologis yang amat berat
untuk disampaikan langsung pada MENDIKBUD masalah-masalah yang ada kaitannya
dengan “hajatan nasional” yang ber titel “Ujian Nasional” .
Ujian Nasional (UN), merupakan sebuah acara yang perhelatannya melibatkan banyak
pihak dan memeras segala energi, baik tenaga, pikiran dan biaya yang luar biasa
besarnya, baik dari pemerintah ( tahun 2012 Rp 600 M ) dan tidak kalah
banyaknya uang masyarakat/orang tua
siswa. Hajatan yang membuat banyak orang susah, cemas, stres, banyak orang yang kesana-kemari
mencari uang pinjaman untuk biaya hajatan, banyak orang tua/wali murid yang
harus menangis dihadapan kepala sekolah untuk memohon anaknya dapat mengikuti
ujian karena belum dapat melunasi pembayaran. Banyak orang menjadi curang, kepala sekolah dan guru menjadi pencuri kertas
berharga dokumen negara. Membuat guru
jadi pesakitan polisi yang harus diawasi, kepala
sekolah, kepala bidang, kepala dinas serta kepala daerah mempertaruhkan jabatan.
Oleh sebab itu walaupun beliau paham kalau permasalahan
ini kurang etis disampaikan ke publik, serta naluri sebagai guru tidak
menghendaki, namun beliau tetap meminta penulis untuk menyampaikan hal ini
kepada Pak Menteri melalui surat terbuka,
karena lewat surat sudah beberapa kali disampaikan, namun tak sekalipun dapat
tanggapan atau memang tidak sampai dimeja beliau.makanya dengan memohon maaf
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak khususnya pak Menteri, agar berkenan
memahami betapa masalah UAN ini sangat penting untuk tetap disampaikan karena
hal ini merupakan masalah generasi bangsa yang menentukan masa depan bangsa dan
Negara ini.
“Ujian nasional sangat diperlukan
sebagai alat ukur keberhasilan pendidikan dan sebagai acuan untuk perbaikan
pendidikan kedepan, ujian nasional sudah tidak perlu lagi dipersoalkan, ujian
nasional sudah final jika dipandang perlu sistemnya yang harus disempurnakan”. Kurang lebih seperti itulah kata-kata Pak Menteri
setiap pidato mengenahi ujian nasional yang diingatnya. Beliaupun setuju saja
kalau ujian nasional tetap diadakan, tetapi
sangat perlu ditata kembali disemua aspek, juga harus ditinjau kembali
untung dan ruginya dan dilakukan penelitian dengan cermat.
Ada beberapa hal yang perlu Bapak
menteri ketahui dari digelarnya ujian nasional. Jujur saja kalau keuntungan tidak ada sama sekali kata pak guru, kecuali
keuntungan finansial bagi pemenang tender pengadaan segala kebutuhan
pelaksanaan UN, mulai dari pengadaan soal, kaset soal bahasa inggris untuk SLTA,
koreksi hasil ujian, atau bagi
pihak-pihak yang dapat cipratan berkah rejeki dari pelaksanaan UN tersebut.
Sehingga di kalangan pendidikan ada guyonan istilah haji Sueb atau haji susuk ebta (sekarang UN).
Tetapi kalau mau tahu kerugiannya sangat banyak sekali kata beliau, diantaranya
;
Pertama: Sangat menghambur-hamburkan uang dan
menjadi lahan empuk untuk mengeruk keuntungan pribadi. Walaupun pemerintah sering gembar gembor UN tidak boleh
memungut biaya lagi kepada siswa, namun apapun caranya pasti sekolah memungut
biaya dan jumlahnya dapat dipastikan
diatas 500 ribu rupiah untuk sekolah tingkat atas. Hal
ini disebabkan bantuan pemerintah
untuk pelaksanaan UN yang ke sekolah penyelenggara disamping jumlahnya jauh
dari kebutuhan riil, juga bantuan turunnya setelah selesai pelaksanaan ujian.
Sehingga tidak ada alasan pemerintah
melarang sekolah memungut biaya kepada siswa dan hal tersebut sangat rentan
dengan muatan-muatan kepentingan yang
memberatkan siswa. Belum
lagi yang memanfaatkan momen UN ini sebagai
proyek pengadaan try out bersama,
proyek tambahan pelajaran/les, proyek pengadaan alat tulis UN dan lain
sebagainya.
Kedua: UN menjadi pemicu banyak orang
menghalalkan segala cara, berpikiran
irasional dan klenik yang menyesatkan, curang, tidak jujur, penipu, jadi
pencuri, melakukan pembohongan publik, pembodohan rakyat dan melakukan sumpah palsu. Kenapa demikian, jawabnya siapa yang mau tidak lulus sekolah,
siapa yang mau dimutasi atau dicopot dari jabatannya karena tingkat kelulusannya
rendah, siapa yang mau sekolahnya tidak dapat siswa, sekolahnya rusak karena
dilempari batu dari siswanya yang tidak lulus,
siapa yang mau dibilang daerahnya kualitas pendidikannya rendah, tentu
semua tidak ada yang mau. Itulah sebabnya sebelum UN digelar, banyak pimpinan
sekolah, guru dan wali kelas yang disibukkan dengan mengubah nilai raport agar
dapat mengangkat nilai siswa, padahal nilai itu merupakan cermin dari kemampuan
peserta didik. Sudah dapat dipastikan siswa yang pandai dan sekolah yang benar-benar
menerapkan aturan dengan tertib sangat dirugikan.
Ketiga : Jika hasil UN tidak
satu-satunya yang menentukan kelulusan siswa, karena masih juga harus dilihat
nilai ujian sekolah dan akhlaq siswa, maka seharusnya lebih dari separo siswa negeri
ini tidak lulus. Karena sudah menjadi
rahasia umum jika semua unsur sekolah juga siswa telah sepakat untuk cari
bocoran jawaaban, saling contek dan masih banyak pelanggaran lagi seperti yang
terilis di media masa. Bukankah hal ini merupakan
cermin moral yang tidak baik dan seharusnya
menjadikan siswa tidak lulus dan sangat kontra produktif dengan tujuan
pendidikan nasional. Ibarat pribahasa,
panas tiga tahun dihapus hujan tiga hari.
D
|
isamping pemborosan dan menghamburkan
dana yang luar biasa besarnya, menyengsarakan banyak pihak, merusak
moral/ahlak/karakter khususnya peserta
didik serta menjadi kontra produktif dengan tujuan pendidikan nasional, UN
masih banyak lagi kerugiannya yakni :
Keempat: Hasil UN yang diharapkan jadi barometer pendidikan
sekaligus sebagai bahan kajian untuk menentukan kebijakan pendidikan ke depan, justru akan lebih memperparah masa depan
dunia pendidikan kita. Bagaimana tidak
potret wajah pendidikan yang dihasilkan dari hasil UN tidak menunjukkan potret
sebenarnya yang jika dijadikan data untuk pengambilan kebijakan maka sudah
pasti kebijakan yang diambil salah.
Secanggih apapun alat yang digunakan, rumus apapun yang diterapkan dan
dikerjakan oleh pakar sekalipun kalau data yang dimasukkan salah hasilnya pasti
salah. Coba kita pikir, hasil try out kabupaten/kota yang
sempat dirilis di media masa hampir seluruhnya menunjukkan tingkat kelulusan
berkisar antara 10% sampai 30% saja, tetapi
tidak ada yang heran ketika mengetahui hasil UN diatas 90% bahkan
mendekati 100%. Mana mungkin dalam waktu sekejab kemampuan siswa berubah begitu
drastis.
Kelima: Evaluasi pelaksanaan UN belum dilakukan secara optimal
kecuali evaluasi nilai yang berbentuk angka-angka. Bagaimana psikologis
sekolah, pimpinan sekolah, guru dan siswa ketika mereka harus diawasi oleh
seorang polisi bagai pesakitan. Bagaimana keluhan orang tua siswa yang harus menjual
barang miliknya, cari hutangan ke sana ke mari, bagaimana dengan siswa yang
pandai dalam satu bidang dan lemah dalam bidang yang lain, bagaimana dengan
kondisi siswa yang sakit pada saat pelaksanaan UN yang hanya sebagian kecil
dari waktu belajar mereka selama 3 tahun, bagaimana dengan penyimpangan yang
terjadi saat UN, bagaimana dengan pemborosan biaya pelaksanaan UN. Contoh kaset soal ujian bahasa inggris untuk SLTA, kenapa tidak didata
dahulu sekolah yang sudah pararel/sentral yang berarti hanya membutuihkan satu atau
dua keping kaset saja dengan
cadangannya. Berapa kaset yang sia-sia yang berarti berapa rupiah
yang terbuang percuma. Benar juga kata
orang, kita itu miskin tapi tidak hemat
berarti kita itu sok kaya atau sombong. Kita tidak pandai mencari income tapi sangat pandai menghabiskan, kita tidak pandai untuk
memberi pada negeri ini tetapi kita sangat rajin untuk menggrogoti.
Keenam
: Yang perlu disadari
oleh semua pihak, secara realita kondisi sarana dan prasarana pembelajaran di
negeri ini masih sangat jauh dari standar yang benar, kalau toh ada yang sudah
standar itupun jumlahnya masih sebatas beberapa sekolah saja. Terlebih standar
tenaga pendidiknya, masih jauh dari standar kompetensi yang disaratkan. Hal ini
diketahui dari hasil UK nasional yang nilai rata-rata nasional 42,25 bahkan
masih ada yang dari soal 100 hanya benar 1 saja. Nah kalau gurunya saja masih
dapat nilai 42,25 masak iya muridnya dituntut lebih dari itu.
Masih banyak lagi kalau mau meneliti
satu persatu kerugian UN kata pak guru. Dan kalau Pak Menteri mengetahui
kondisi yang susungguhnya pasti beliau tidak pernah bisa tidur, terus menangis sedih dan langsung merubah
kebijakan UN. Saya yakin pak Menteri
yang notabenenya seorang Kyai tidak mau urusan akhlaq/moral/karakter yang
menjadi pilar bangsa ini serta menentukan kehidupan akhirat ditukar dengan
kepentingan duniawi yang berbentuk angka dan bersifaat sesaat. Untuk itu pak
guru punya usul lebih baik UN ditiadakan atau hanya dipakai masukan standar
hasil pendidikan tetapi tidak mempengaruhi kelulusan siswa.
Jika UN
tidak digunakan sebagai standar kelulusan, maka sekolah dan guru lebih
berwibawa, tanpa harus diawasi tim pemantau independen dan dijaga polisi, dapat
dipastikan tidak ada lagi sekolah, guru
dan siswa sepakat untuk berbuat curang karena mereka tidak takut tidak lulus. Hasil UN benar-benar dapat membedakan kualitas
lulusan sebuah sekolah, dapat digunakan untuk seleksi masuk kejenjang sekolah
yang lebih tinggi. Pasar kerja pemakai
jasa lulusan sekolah semakin mudah memilih dan para siswa semakin betul-betul
dihargai kemampuannya.
Hasil UN yang
diharapkan sebagai data awal untuk menentukan strategi pendidikan ke depan
benar-benar mendekati akurat,, olahan
data yang dihasilkan juga akan dapat akurat,
maka langkah yang diambil akan lebih
tepat sasaran dan kemajuan pendidikan
nasional yang kita harapkan akan dapat terwujud.
Dari segi keilmuan pak guru tidak ada
apa-apanya kalau dibandingkan pak menteri, tetapi kalau pengalaman lapangan di
dunia pendidikan dasar dan menengah pak guru amat paham betul karena hampir
sudah seperempat abad bergelut dengan keadaan yang ada di dunia pendidikan ini.
Namun demikian bukan berarti ingin mengguruhi pak menteri yang selama ini
sangat dikagumi pak guru.
Kalau Mahkama Agung saja merekomendasi
dihapusnya UN, banyak para pakar dan pemerhati pendidikan tidak setuju dengan
UN terlebih masyarakat luas. Ada apa kok kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
tetap ngotot UN terus diadakan. Adakah tujuan lain dibalik itu semua. wallahu a’lam.
Wahai pak Menteri, kepala dinas
pendidikan dan para pejabat yang terkait, berhentilah membual, berbohong dan
terus berpura-pura. Sadarilah perilaku bapak
menjadi bahan tertawaan para siswa, guru dan wali murid. Sadarlah UN yang bapak
perjuangkan mati-matian akan menjadi tanaman beracun yang akan merusak negeri
ini.
Yang paling akhir, perlu diketahui Pak Menteri,
sekarang memang orde reformasi tetapi peninggalan orde baru masih sangat
banyak, sehingga budaya ABS, pura-pura baik, pura-pura taat, dan kebohongan
publik masih banyak di negeri ini termasuk di jajaran kementrian yang bapak
pimpin. Seandainya menjadi Wastle blower
di negeri ini dapat merubah kebijakan, pak guru amat tidak keberatan untuk
melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar