Sebuah wadah untuk menambah rasa cinta tanah air, peduli terhadap KKN, untuk meningkatkan moral bangsa

Kamis, 01 Mei 2014

REVOLUSI DUNIA PENDIDIKAN KITA

REVOLUSI DUNIA PENDIDIKAN KITA
(SEBUAH KAJIAN)

          Disajikan Kembali pada Hari Pendidikan Nasional 2014

Dikirim kembali kepada Kemendikbud Republik Indonesia 

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirohiim.
Puji syukur kehadlirat Allah Subhanahu Wata’ala, atas nikmat dan karuniaNya, sehingga penulis masih diberi kesempatan untuk meluangkan waktu menyelesaikan kajian dalam bidang pendidikan, walaupun mungkin masih jauh dari sempurna.
Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab penulis selaku insan pendidikan dalam upaya ikut serta mengupayakan terwujudnya tujuan pendidikan nasional Menyadari bahwa dalam penulisan ini  tidak lepas dari peran serta berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.     Direktur YPM Sepanjang dan teman-teman SMK YPM 8 Sidoarjo.
2.     Pihak-pihak yang telah membantu kami baik langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebut satu per satu.
Sejelek apapun hasil kajian ini, penulis tetap berharap  dapat digunakan sebagai masukan oleh Kementrian Pendidikan Nasional, paling tidak di lingkungan Yayasan Pendidikan dan Sosial Ma’arif Sepanjang Sidoarjo, terlebih seluruh Indonesia.
Akhirnya penulis tetap berharap dan berdoa semoga tulisan ini ada guna dan manfaatnya untuk kebaikan dunia pendidikan kita, bagai sebutir pasir yang ikut menopang tegaknya gedung pencakar langit.
           Semoga Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa memberikan pertolongannya pada kita semua, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Sidoarjo, 01 Desember 2010                                
Penulis

Drs. Kisyanto SM, SE, MM.


DAFTAR ISI

Cover
Biodata Penulis          
Kata Pengantar          
Daftar Isi        

BAB I        PENDAHULUAN
                  A.  Latar Belakang Masalah                                                     
                  B.  Data dan Fakta
                 
BAB II      PEMBAHASAN DAN ALTERNATIF YANG DITAWARKAN
                  1.   Belum Optimalnya Pendidikan Kita
                  2.   Tingginya Biaya Pendidikan
                                                                                                                                
BAB III     ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
                                                                                                                    
PENUTUP
LAMPIRAN
1.      Menyoal Laba Rugi Ujian Akhir Nasional
2.      Sang Guru
                 
        













BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah merupakan salah satu pilar pembangunan nasional, oleh karena itu sudah semestinya secara terus menerus diupayakan peningkatan disegala aspek, baik dari segi kuantitas daya tampung/pemerataan kesempatan pada semua warga negara untuk mendapat pendidikan terlebih kualitas/mutu pendidikan,  sehingga  produk pendidikan diharapkan dapat meningkatkan daya saing bangsa ini dengan bangsa lain didunia.
Mutu pendidikan yang dimaksud tidak hanya ditujukan untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semata melainkan yang jauh lebih penting adalah kualitas iman dan taqwa, budi pekerti  yang luhur/ahlaq yang mulia, berkepribadian dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, seperti yang sudah tertuang dalam Garis Besar Haluan Negara.
Walaupun kita sudah sangat jauh tertinggal dengan dunia-dunia lain, dengan berbagai daya dan upaya pemerintah berusaha untuk mengejar ketertinggalan tersebut tanpa harus melupakan karakter bangsa Indonesia yang agamis dan berkepribadian demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Berbagai kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah menunjukkan keberpihakan pemerintah pada dunia pendidikan, mulai dari pengalokasian Anggaran Belanja Negara/Daerah sebesar minimal 20%, dimasukkannya pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan mulai tingkat pusat/propinsi/kabupaten/kota,  bahkan hampir setiap ada promosi pejabat (capres/cawapres, cagub/cawagub, cabub/cawabub, caleg dan lain sebagainya) semua memakai pendidikan sebagai jargon utama dalam kampanyenya. Hal ini membuktikan bahwa semua warga Negara ini sadar akan pentingnya pendidikan dan merupakan kebutuhan pokok yang tidak dapat dikesampingkan sama sekali.
Islam yang merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini sudah menuntun umatnya untuk selalu menuntut ilmu mulai dari gendongan sang bunda sampai kembali keliang lahat/meninggal dunia, bahkan Rosulullah Muhammad SAW. Memerintahkan kepada kita untuk mencari ilmu sampai di negeri Cina. Begitu pentingnya Islam memandang ilmu pengetahuan karena di hadist lain juga dikatakan : “barang siapa menginginkan dunia capailah dengan ilmu, barang siapa menginginkan akhirat capailah dengan ilmu dan barang siapa menginginkan keduanya capailah dengan ilmu”.
Kaesar Jepang ketika selesai Perang Dunia II yang negaranya telah dihancur leburkan dan luluh lantak oleh serangan bom atom sekutu hanya bertanya “Berapa guru yang tersisa ?” kaisar tidak bertanya berapa aset negara/kekayaan negara yang tersisa, karena kaesar tahu persis bahwa dengan pendidikan Jepang akan dapat mengembalikan negaranya, dan Jepang dapat membuktikan dalam waktu yang tidak terlalu lama Jepang mampu merubah dirinya menjadi Negara maju, berkepribadian dan mampu mensejajarkan dirinya dengan negara-negara maju lainnya bahkan mengungguli mereka.
Upaya-upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan dinegeri ini memang sudah nampak, akan tetapi bukan berarti tidak ada kendala yang dihadapi, masih diperlukan perjuangan panjang agar tujuan pendidikan nasional benar-benar terwujud; kendala, hambatan, rintangan masih sangat banyak kita jumpai, disamping permasalahan dan tantangan dunia pendidikan kedepan tentunya bukan semakin kecil melainkan semakin kompleks, tidak cukup hanya tersedianya alokasi yang besar untuk pendidikan akan tetapi yang jauh lebih penting adalah komitmen bangsa ini untuk memajukan dunia pendidikan terutama orang-orang yang secara langsung terkait dengan dunia pendidikan. Oleh karenanya secara terus menerus harus dilakukan kajian-kajian oleh semua pihak sebagai upaya perbaikan terhadap jalannya pendidikan dinegeri ini agar tujuan luhur pendidikan nasional tidak hanya indah didengar akan tetapi benar-benar menjadi kenyataan. Secara khusus memang hal tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah, akan tetapi masyarakat/warga negara tidak bisa tinggal diam, semua harus aktif melakukan pantauan, kajian dan memberikan masukan kepada pemerintah, sekolah, terlebih masyarakat yang berhubungan langsung dengan dunia pendidikan seperti : para pengelola lembaga pendidikan, para pemerhati pendidikan, kepala sekolah, guru dan lain sebagainya.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang sekaligus juga sebagai bagian dari dunia pendidikan penulis bermaksud memberikan masukan dari kajian kritis yang telah penulis lakukan baik melalui pengamatan langsung, tindakan langsung, pengalaman pribadi sebagai guru, kepala sekolah dan ketua K3S SMK Swasta di kabupaten Sidoarjo, juga dari penelitian yang pernah penulis lakukan, maka penulis bermaksud berbagi pengalaman kepada bapak Menteri Pendidikan Nasional  berupa tulisan ini. Walaupun tulisan ini amat sangat sederhana dan kurang sistematis serta jauh dari sempurna tetapi sangat realistis, penulis tetap berharap agar dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan pendidikan di negeri ini bagaikan sebutir pasir yang dapat ikut menopang tegaknya gedung pencakar langit.

B.       DATA DAN FAKTA

Berdasarkan apa yang penulis ketahui, lakukan/alami, dari hasil kajian, penelitian dan lain sebagainya ada beberapa data dan fakta yang penulis paparkan disini, tentunya pada hal-hal yang bersifat distruktif yang menjadi penghambat tercapainya tujuan pendidikan nasional, namun demikian bukan berarti penulis menafikan adanya beberapa kebaikan yang sudah dicapai oleh pemerintah, dengan harapan kondisi distruktif tersebut dapat menjadi pijakan untuk lebih barhati-hati, lebih waspada dan lebih tepat sasaran dalam melangkah kedepannya sehingga dapat lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan nasional dengan langkah yang efektif dan efisien. Orang bijak mengatakan “kondisi negatif (menurut kita) jika kita tidak su’udzon dan kita manaj dengan baik itu adalah merupakan awal prestasi” karena kondisi negatif merupakan rangsangan kepada orang-orang untuk membuat, mencipta, menentukan langkah kearah yang prestatif. Bukankah orang menciptakan deterjen karena adanya pakaian kotor, orang membuat alarm pengaman karena adanya pencuri dan lain sebagainya, karena Allah tidak akan pernah membuat sesuatu dengan sia-sia.
Adapun data dan fakta yang penulis kumpulkan/ketahui adalah sebagai berikut :
1.    Belum semua warga negara Indonesia dapat menikmati pendidikan; baik dasar, menengah apalagi pendidikan tinggi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : besarnya biaya pendidikan walaupun pemerintah sudah mengucurkan dana yang cukup besar namun masih terasa tidak berdampak pada besarnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat, tempat sekolah yang jauh dari tempat tinggal. Hal ini banyak dirasakan oleh warga pedalaman, rendahnya kesadaran belajar pada sebagian masyarakat Indonesia, rendahnya daya dukung ekonomi terhadap biaya pendidikan oleh sebagian besar warga negeri ini sehingga tidak sedikit yang mengharuskan putra putrinya untuk bekerja usia dini untuk  membantu ekonomi keluarga dan lain sebagainya.
2.    Kesungguhan pemerintah, pengelola pendidikan dan pelaksana pendidikan untuk pencapaian tujuan pendidikan nasional secara utuh belum dirasakan. Penguatan masih berorientasi pada pencapaian Iptek, sedangkan Imtaq dan pembentukan karakter bangsa serta budi pekerti luhur belum mendapat porsi yang sama, hal ini dapat dilihat dari muatan kurikulum nasional yang mengalokasikan pendidikan agama yang sangat minim padahal kalau kita semua mau jujur karakter bangsa ini sangat ditentukan dari kesadaran untuk beragama (contoh para pendiri negeri ini).
3.    Kualitas pendidikan yang sudah dibangga-banggakan masih semu, fiktif dan penuh rekayasa. Contoh : banyak siswa negeri ini yang menjadi juara ditingkat ASEAN, Asia bahkan Dunia tapi kalau semua mau jujur itu bukan hasil pendidikan kita, akan tetapi hasil binaan lembaga-lembaga yang bergerak dibidang itu. Contoh lain yang lebih ekstrim UJIAN NASIONAL yang memakan dana trilyunan rupiah baik dana dari pemerintah maupun bahkan yang lebih besar dana partisipasi masyarakat/wali murid, menguras tenaga, pikiran bahkan ada yang menjadi taruhan jabatan itu hanya tidak lebih pesta tahunan penghambur-hamburan uang dan penuh tipu daya yang tidak menghasilkan sesuai dengan harapan yakni pengukuran terhadap kemampuan lulusan, walaupun sulit untuk dibuktikan karena sudah ada kesepakatan antar mereka tapi penulis haqqul yaqin semua Kepala Daerah, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, semua guru dan yang lebih parah lagi semua siswa dan orang tua siswa mengetahui kalau UN penuh rekayasa, kecurangan, fiktif dan pembelajaran yang sangat-sangat negative pada peserta didik, bahkan merupakan pembunuhan karakter dan kepribadian siswa. Kenapa  penulis berani mengatakan demikian ?, alasan logika sederhana dan semua orang tahu yaitu setiap menjelang UN semua sekolah mengadakan try out ada yang dilaksanakan sendiri oleh pihak sekolah dan yang dilaksanakan oleh dinas pendidikan dan semua mengetahui hasil try out setiap kali digelar hasilnya tidak lebih dari 30% siswa yang lulus akan tetapi ketika UN hanya kisaran 1% sampai 5% siswa yang tidak lulus, mengapa bisa demikian ?, yang jelas UN telah penuh rekayasa, kebohongan, kecurangan, dan lain sebagainya.
Ceritera nyata: sekitar tahun 1996 ketika penulis aktif di bursa kerja sekolah yang sekaligus menangani pemagangan siswa ke Jepang kerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja (saat itu), suatu saat DEPNAKERTRANS (sekarang)  mengundang expert dari Jepang mengadakan seminar tenaga kerja Indonesia, expert tersebut mengatakan kalau tenaga kerja Indonesia sangat cerdas, dia mengambil contoh TKW yang hanya lulusan SD dalam waktu yang relatif singkat sekitar 3 bulan dididik sudah mampu menguasai bahasa Jepang atau Mandarin sesuai dengan bahasa negara tujuan sekaligus mereka juga sudah menguasai keterampilan yang disaratkan, akan tetapi lanjutnya dari 1000 orang Indonesia untuk mencari orang yang jujur 10 saja sudah sulit. Saat penulis bertanya kenapa hal tersebut terjadi ? dengan tegas dia menjawab “Pendidikan di Indonesia mengajarkan hal itu” mulai anak-anak sudah diajarkan tidak jujur”. Soal  ulangan salah, soal ulangan belum pernah diajarkan siswa dibilangi bonus dan tidak boleh dikerjakan, dan lain sebagainya waktu itu yang dia sebutkan. Nah apalagi sekarang karena alasan yang masuk akal yaitu Kepala Dinas takut dimutasi, Kepala Sekolah takut dipecat karena sekolahnya tidak dapat murid efek dari banyaknya siswa yang tidak lulus, Kepala sekolah takut sekolahnya dirusak, guru takut dimarahi kepala sekolah, siswa takut tidak lulus dan lain sebagainya maka tanpa menyadari efek psiklogi yang ditimbulkan dan hanya menuruti kepentingan sesaat anak didik diajari untuk berlaku curang, yang paling ringan siswa dibiarkan contohan, diatasnya itu menyiapkan siswa yang dipandang pinter didrill khusus untuk jadi joki dikelasnya, diatas itu yang paling parah siswa diberi jawaban dari soal yang dikerjakan oleh guru. Sejuta cara yang ada dibenak kepala sekolah dan guru untuk melakukan kecurangan. Kalau sudah sedemikian parahnya apa UN harus dipertahankan?. Relakah  kita generasi penerus bangsa ini menjadi generasi yang kehilangan karakternya, relakah kebutuhan akhirat kita tukar hanya dengan kepentingan sesaat?. Jika pendiri negeri ini, bapak pendidikan negeri ini, para pejuang pendidikan juga penggiat pendidikan di negeri ini jika mengetahui  kondisi pendidikan yang sebenarnya pasti dan pasti menangis.
Ceritera lain : ketika penulis masih aktif dibursa kerja sekolah penulis aktif datang keperusahaan yang aktif merekrut siswa dimana penulis menjadi guru, setelah penulis tanya kenapa kok senang merekrut alumni dari sekolah kami, rata-rata dari mereka mengatakan karena lulusan kami anaknya jujur-jujur  dan rasa tanggung jawabnya tinggi, karena keterampilan itu mudah diajarkan lanjutnya.
4.    Pendidikan di negeri ini masih kurang bisa menghargai potensi individu peserta didik, sehingga pendidikan belum banyak bisa mengembangkan potensi, dan kepribadian siswa secara optimal, hal ini secara sederhana dapat dilihat dari penentuan lulusan yang pada akhirnya hanya ditentukan dari hasil UN yang masih sangat subyektif (kondisi siswa saat ujian, situasi saat ujian, kondisi lingkungan, kondisi sekolah, dan lain sebagainya).
Contoh : Ada beberapa siswa yang tidak lulus UN karena yang bersangkutan tenaganya diforsir untuk mengikuti turnamen sepak bola junior di kabupaten A karena siswa tersebut sudah terekrut di liga junior dan telah dikontrak dengan sejumlah bayaran yang jauh lebih besar ketimbang dia menjadi operator mesin bubut,  siswa yang memang dicetak untuk kuat dan matang di AUTO CAD karena potensinya dibidang itu bahkan yang bersangkutan masuk lima besar tingkat jawa timur dalam lomba LKS dibidang AUTO CAD disamping peluang kerjanya sangat banyak, akhirnya tidak lulus UN karena teori produktif tidak lulus, bukankah dua contoh ini dan tentunya masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa menunjukkan betapa pendidikan kita sangat tidak memihak pada potensi personal peserta didik.
5.    Walaupun secara tertulis untuk menentukan kelulusan tidak hanya ditentukan dari nilai UN dan Ujian Sekolah melainkan juga dari perilaku siswa, maka kenyataan yang ada hanya UN-lah yang menjadi pertimbangan. Penulis berani mengatakan demikian karena jika perilaku atau budi pekerti juga dipertimbangkan malah bisa dipastikan lebih dari separo siswa akan tidak lulus, bukankah kecurangan telah dilakukan secara jama’ah yang berarti dari aspek moral/aqhlaq dinyatakan tidak lulus yang berarti pula mereka harus dinyatakan tidak lulus. Bahkan untuk mencapai hasil UN yang tinggi banyak sekolah dalam proses belajar mengajarnya  sangat berkecenderungan asal siswa dapat mengerjakan soal-soal UN, sehingga tidak ubahnya lembaga kursus/bimbingan belajar yang semakin melupakan filosofi dasar pendidikan. 
6.    Biaya pendidikan terlalu tinggi dibanding kemampuan kebanyakan masyarakat Indonesia hal ini disebabkan disamping karena pemetaan kebutuhan pasar kerja yang tidak jelas sehingga banyak aktifitas disekolah/pembelajaran di sekolah yang pada akhirnya tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja juga banyaknya mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa yang menambah cost, keinginan para pengelola lembaga pendidikan yang neko-neko/mengada-ada  yang  akhirnya juga berkaitan dengan cost contoh pemasangan AC di kelas, paving masih layak pakai diganti, penambahan pelajaran disiang hari  dengan mengurangi jumlah jam  dipagi hari sehingga terkesan yang siang hari pelajaran tambahan  dan siswa diminta membayar sejumlah tertentu padahal itu masih merupakan jam wajib mereka karena kepala sekolah memahami kalau di daerah tersebut sekolah tidak diperkenankan menarik biaya apapun kepada siswa karena ada BOPDA maka dibuatlah seperti itu sehingga terkesan sekolah menarik sejumlah uang untuk kepentingan pelajaran tambahan , mafia buku dan LKS dan lain sebagainya yang ujung-ujungnya duit, padahal pemerintah/daerah sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan subsidi BOS, BOMM, BOPDA dan bentuk GRAND lainnya agar masyarakat tidak banyak terbebani biaya pendidikan. Sehingga tidak salah kalau banyak yang bilang masih enak jamannya Pak Harto sekolah biayanya murah karena kenyataannya seperti itu.
Contoh  : sebelum diluncurkannya BOS untuk pendidikan dasar  9 tahun. Anak penulis masih duduk dibangku kelas satu SMPN tiap bulan harus membayar  SPP atau apa namanya sebesar  Rp 22.500,- (dua puluh dua ribu lima ratus rupiah) nah setelah naik kelas dua pemerintah meluncurkan program BOS waktu itu BOM, menggunakan logika wajar tanpa ada BOS paling besar naik 10 % sampai 20 %  kalau dibulatkan paling besar yang harus dibayar anak saya di kelas dua logisnya Rp 27.500,- nah dengan adanya BOM yang waktu itu Rp 27.500,- tiap siswa perbulan mestinya anak saya gratis tapi apa yang terjadi anggaran sekolah dirubah sedemikian rupa akhirnya setiap siswa harus membayar Rp 27.500,- tiap bulannya yang berarti sia-sialah bantuan pemerintah tersebut.
Contoh lain : di SMPN tertentu karena sudah ada BOS dan BOPDA maka sekolah negeri tidak diperkenankan menarik siswa lagi, tidak kurang akal kepala sekolah merencanakan sesuatu yang dapat dipakai alasan agar dapat menarik biaya pada siswa, cara yang dipakai mengurangi jam pelajaran dijam sekolahnya biasanya siswa pulang jam 13.00 WIB dengan 42 jampel tiap minggu dirubah pulang jam 11.30 WIB dengan 34 jampel tiap minggu, diluar jam sekolah ditambah materi UN sebanyak 8 jampel/tiap minggu dan tiap siswa diminta membayar uang les sebesar Rp 50.000,- tiap bulan, apakah ini tidak penipuan terhadap masyarakat.
 Sekolah SMAN agar mendapat masukan keuangan yang besar membuat kelas akselerasi dan membeban biaya yang cukup besar baik pada APBD dan orang tua, SBI, dan apalah namanya semua intinya anggaran dan anggaran, bukankah tugas sekolah, guru untuk mendidik siswa sehingga kemampuan siswa menjadi tanggung jawabnya yang harus membebani biaya lagi pada mereka. Sehingga tidak salah rasanya jika banyak orang, pengamat, pemerhati pendidikan yang mengatakan pendidikan kita sekarang sudah mengarah kearah bisnis pendidikan yang tidak jelas mutunya. Kalau disuruh memaparkan satu persatu masih banyak sekali yang penulis dapat jelaskan secara langsung terjadinya komersialisasi pendidikan di negeri ini.
7.    UAN masih sangat dirasa pemborosan anggaran negara maupun biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat (wali/orang tua murid), walaupun undaang-undang sudah mengamanatkan bahwa semua biaya ujian ditanggung oleh pemerintah pusat dan daerah tetapi dalam kenyataannya masyarakat masih harus menanggung kekurangannya dan jumlahnya sangat besar, hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya :
a.    Terlalu banyaknya birokrasi yang harus dilewati dan terlalu banyaknya pihak yang terlibat dalam proses UAN sehingga menggelembungkan anggaran, padahal kalau mau jujur ada dan tidaknya pengawasan pihak eksternal seperti kepolisian dan Tim Pemantau Independen tidak bisa dijamin tidak adanya kecurangan pada pelaksanaan UAN, bahkan justru menciptakan tekanan-tekanan psikologi pada semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan UAN sehingga banyak yang berfikir negatif untuk bisa berbuat sesuatu pada para petugas tersebut dengan harapan bisa diajak kerja sama misalnya dengan memberikan jamuan yang istimewa, memberikan tambahan transport pada para petugas dan lain sebagainya yang ujung-ujungnya membengkaknya anggaran UAN.
b.    Penganggaran UAN oleh pemerintah dibuat tidak berdasarkan realitas kebutuhan yang ada dilapangan sehingga sekolah penyelenggara maupun sub rayon masih harus menambah anggaran, sehingga celah ini yang dimanfaatkan untuk memungut peserta ujian apapun namanya pungutan itu, bagaimanapun caranya tapi hampir pasti sekolah memungut siswa peserta ujian, ada yang harus menabung pada saat kelas akhir bersama SPP atau iuran lain atau memungut tambahan biaya UAN sebelum pelaksanaan UAN.
Contoh : anggaran untuk distribusi naskah soal, anggaran konsumsi pengawas dan anggaran transport kehadiran pengawas sangat tidak sesuai dengan kelayakannya dan lain sebagainya, sehingga sekolah harus menambah anggaran untuk keperluan tersebut, padahal kalau para pembuat anggaran mau mengukur dengan dirinya sendiri tentu tidak mungkin dia sendiri mau menerima diperlakukan seperti itu.
c.    Masih ada anggaran yang harus dipertimbangkan lagi untuk menghemat anggaran UAN khususnya untuk tingkat SLTA yaitu biaya pengadaan kaset untuk soal ujian Bahasa Inggris, berapa banyak kaset yang tidak digunakan karena sekolah sudah menggunakan pengeras suara secara sentral bahkan hampir tidak dijumpai sekolah diperkotaan yang tidak secara sentral yang berarti hanya membutuhkan 2 (dua) kaset saja termasuk cadangan, tentunya mulai pendataan peserta UAN juga dilakukan pendataan kebutuhan kaset untuk masing-masing sekolah. Jika ini dilakukan maka akan bisa dihemat biaya untuk pengadaan kaset dan dialokasikan kepada biaya yang lain.
8.      Banyak pengelolah pendidikan bahkan pemerintah  yang menggunakan jargon peningkatan kualitas pendidikan untuk keperluan mengeruk keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya, mereka biasanya selalu mengkaitkan jika ingin berkualitas harus dengan uang, padahal kalau difikir secara jernih bukan satu-satunya untuk meningkatkan kualitas dengan uang, bukankah kita bisa melihat sendiri betapa mahalnya pendidikan kita sekarang baik yang ditanggung oleh pemerintah maupun masyarakat, adakah peningkatan yang signifikan kualitas lulusannya ? apakah tidak terbalik kenyataannya dengan yang dahulu sebelum pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar minimal 20%. Dahulu para pengelola pendidikan, para kepala sekolah dan para guru sangat-sangat kreatif untuk mengoptimalkan baik anggaran maupun sumber daya yang ada, sangat menghargai sekecil apapun sumber daya yang ada, sangat tinggi pengabdiannya, tidak berfikir  dapat imbalan apa atau berapa, kondisi semacam itulah justru yang dapat menjadi contoh bagi anak didik untuk berbuat hemat, sederhana, kreatif, ulet dan lain sebagainya. Nah kalau semua sudah dengan uang hilanglah semua prinsip-prinsip dasar pendidikan di negeri ini, maka lahirlah dari pendidikan ini generasi instan, tidak tahan uji, egois dan matrialistik.
9.      Kemauan kepala sekolah dan guru untuk berbuat banyak dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan masih belum nampak bahkan kecenderungan mau berbuat hanya masih lebih banyak dilandasi kepentingan sesaat seperti adanya iming-iming jabatan, tunjangan, peningkatan honor, takut dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan adanya tingkat motivasi berprestasi pimpinan sekolah, guru masih relatif rendah atau dibawah standar yang disaratkan (hasil penelitian penulis terhadap guru dan pimpinan sekolah di lingkungan Yayasan Pendidikan dan Sosial Ma’arif/YPM Sepanjang Sidoarjo, yang diikuti oleh tingkat SD, SMP, SMA dan SMK) padahal YPM adalah salah satu yayasan dibawah Ma’arif NU yang memiliki sekitar 36 sekolah dan tergolong berkualitas dilingkungannya.
Dari penelitian tersebut N-Ach (Need of Achievement) rata – rata  sebesar 1,8 (rendah), N-Ach adalah merupakan dorongan seseorang untuk berbuat kearah prestatif, nah kalau gurunya saja tidak punya keinginan berprestasi terus bagaimana dengan siswanya. Disisi lain dari analisa Tes AH Maslow kebutuhan fisiologi dasar sangat mendominasi perolehan skornya, (fisiologi dasar = sandang, pangan, papan dan sex), bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa para pimpinan sekolah dan guru datang ke sekolah lebih banyak karena dorongan untuk memenuhi keinginan fisiologi dasarnya ketimbang tujuan untuk mengajar/mendidik, itulah sebabnya jutaan guru di Indonesia yang mayoritas sarjana belum nampak hasil-hasil penelitiannya, karya tulisnya dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional, akan tetapi kalau untuk memenuhi persyaratan Sertifikasi dalam waktu yang relatif singkat semua dapat dipenuhi.
10.  Pungli, korupsi, manipulasi, penyalahgunaan fungsi dan kekuasaan dan lain sebagainya masih amat sangat banyak, misal uang BOS, BOMM, bantuan-bantuan yang mengakibatkan biaya sekolah makin tinggi dan membebani masyarakat dan pemerintah. Hal ini bukan hanya dikarenakan adanya niat jelek kepala sekolah semata, akan tetapi sistem yang selama ini diterapkan oleh pemerintah dalam menyalurkan bantuan tersebut memberikan peluang yang sangat banyak untuk berbuat penyalahgunaan bantuan tersebut, orang yang semula tidak punya niatpun akhirnya harus berfikir untuk menyalahgunakannya walaupun bukan untuk kepentingan pribadi.
Contoh : tiap siswa SMK dapat BOMM untuk keperluan bahan praktek, karena cairnya dana tersebut sekian bulan setelah siswa masuk sekolah maka sekolah sudah dapat dipastikan telah menarik sejumlah uang kepada para siswa karena sekolah sudah harus melaksanakan praktek akhirnya apa yang diharapkan pemerintah mengurangi beban masyarakat akan tetapi pada prakteknya tetap saja masyarakat menanggung beban tersebut.  Atau kalau sekolah tidak berani memungut dari siswa berarti sekitar 2 (dua) bulan siswa tidak melaksanakan praktek.
Contoh lain masih dalam kasus BOMM, karena bantuan BOMM besarnya bantuan disama ratakan, maka yang terjadi dilapangan untuk program keahlian tertentu amat berlebihan (akutansi, perkantoran dan lain-lain yang sejenisnya), tetapi pada program keahlian yang lain ada yang jauh tidak mencukupi (tata boga, tata busana, pemesinan dan lain sebagainya). Hal inilah yang akhirnya timbul rekayasa untuk menghabiskan anggaran atau menarik pungutan tambahan pada siswa, jika penganggaran didasarkan pendekatan kebutuhan yang obyektif tentu hal-hal negatif bisa kita perkecil walaupun memang membutuhkan kerja ekstra. Dari dua contoh diatas urusan BOMM bisa dipastikan telah terjadi manipulasi baik penggunaan keuangan yang mungkin kurang pas dengan sasaran atau yang pasti manipulasi pelaporannya walaupun tidak terjadi korupsi didalamnya. Hal ini  adalah pembelajaran yang tidak terasa yang akhirnya kita biasa berperilaku menyalahi aturan.
Contoh lain : BKSM untuk siswa miskin dikeluarkan jauh setelah siswa masuk sekolah bahkan ada yang siswa sampai sudah lulus (periode Januari-Juni) terus dikemanakan uangnya? kalau sekolah diminta meminjami terlebih dahulu apa ada jaminan dipastikan dana tersebut cair ? jika memang cair apa jumlah siswa yang menerima sama ? karena ada beberapa sekolah yang mengeluh pada penulis harus meminjami sekian puluh juta karena jatah BKSM yang sudah di SK-kan pada siswa akhirnya hilang lebih dari 50% padahal siswa sudah terlanjur lulus dan tidak dibayar penuh karena sudah dipotong BKSM dan ini terjadi hampir pada semua sekolah yang dapat BKSM dari APBN, hal-hal yang demikian ini yang memberikan peluang orang berbuat korupsi dan sejenisnya.
11.  Banyak sekolah yang sarana dan prasarananya termasuk para pengajarnya sangat tidak memenuhi standart minimal yang telah ditentukan, hal ini banyak disebabkan banyaknya bermunculan sekolah baru yang diberi ijin oleh dinas yang berwenang tanpa kajian yang mendalam seperti  standar kelayakan yang harus dipenuhi, sekolah sekitar yang sudah ada sudah terpenuhi jumlah siswanya atau belum, butuh tidak daerah tersebut untuk ditambah sekolah dan lain sebagainya, bahkan tidak hanya swasta saja yang seperti itu pemerintah pun juga membangun sekolah baru yang akhirnya membunuh sekolah lama yang belum sempat sehat. Kalau mau jujur semua itu ujung-ujungnya pasti duit. Penulis dapat mengatakan demikian karena studi kelayakan yang menjadi persyaratan pendirian dan penambahan program studi baru kalau untuk SMK sangat tidak diperhatikan yang penting ada duit pasti direkomendasi. Hal ini akan menambah deretan sekolah yang tidak sehat juga menambah deretan sekolah yang amat sangat kurang sarana dan prasarananya yang pada akhirnya akan menjadi beban negara untuk memenuhinya kalau tidak ingin kualitas lulusannya rendah. Keadaan demikian ini semakin banyak terjadi karena banyaknya bermunculan yayasan-yayasan baru yang tidak jelas komitmennya dibidang pendidikan bahkan menjadi trend jadi lahan bisnis pengelolanya.
12.  Kualitas pendidik yang masih dibawah standar, hal ini banyak disebabkan peninggalan rekruitmen tenaga pendidik yang KKN tanpa memperhatikan kompetensinya, baik kompetensi pedagogic, akademik, sosial maupun kepribadiannya.  Sertifikasi yang diharapkan menjadi pendorong untuk peningkatan kualitas guru hanya formalitas saja bahkan mulai proses penjaringan data dan persyaratan sudah banyak yang palsu setidaknya aspal, pelatihan bagi peserta yang tidak lulus sertifikasi juga berjalan sebagai formalitas belaka. Hal ini bisa dilihat efek positif dari tunjangan sertifikasi yang jumlahnya amat sangat banyak tidak berbanding lurus dengan peningkatan kinerja penerimanya.
13.  Masih banyak dijumpai kegiatan peningkatan kualitas baik untuk kepala sekolah, kepala program,wakil kepala sekolah, petugas laboratorium, guru dan lain sebagainya yang hanya asal ada atau kurang serius, hanya menghabiskan anggaran belaka, sehingga besarnya anggaran yang telah dialokasikan tidak banyak menghasilkan perubahan yang signifikan bahkan terkesan tidak ada perubahan sama sekali.
14.  Masih banyaknya sekolah yang masuk disiang hari, apapun alasannya mungkin tidak memiliki ruang kelas yang mencukupi atau yang sekarang lebih ngetrend dengan giant school dan lain sebagainya, disamping jumlah jam efektifnya untuk sekolah masuk siang terbatas juga biasanya para pengajarnya sudah kelelahan, situasi di sekolah tidak senyaman ketika pagi hari sehingga bisa dipastikan KBM tidak dapat berjalan optimal hasilnyapun dapat dipastikan kualitas lulusannya akan lebih rendah dibanding yang masuk pagi hari.
15.  Masih amat sangat banyak guru yang mengajar dibeberapa sekolah , jam mengajarnya relatif sangat banyak , disamping terlalu capek juga tidak ada waktu untuk  meningkatkan kualitas pribadinya juga tidak jarang siswa hanya diberi tugas mencatat, mengerjakan soal yang tidak pernah dikoreksi apalagi dibahas yang kita dapat membayangkan bagaimana hasil yang akan diperoleh dari proses belajar mengajar semacam itu.
16.  Masih banyak guru/tenaga pendidik yang suka datang terlambat, terlambat masuk kelas, bolos, menyuruh siswa mencatatkan pelajaran dipapan tulis dia sendiri santai, baca koran atau omong-omong dengan guru lain. Memberikan tugas pada siswa tetapi tidak dikoreksi apalagi dibahas dan yang lebih umum lagi datang mengajar setelah selesai lalu pulang.
17.  Situasi umum di negeri ini kurang mendukung terhadap dunia pendidikan, situasi politik misalnya , banyak Kepala Dinas Pendidikan atau sekretarisnya yang bukan dari orang yang memahami dunia pendidikan karena hal tersebut sekarang sudah masuk rana politik. Acara telivisi yang mampu menarik perhatian para pelajar sehingga melupakan belajarnya, dan lain sebagainya.
18.  Tidak adanya jaminan bagi anak bangsa ini untuk menempati kerja yang layak walaupun mereka berprestasi di sekolahnya, karena masih berlakunya KKN disetiap rekruitmen pegawai baik negeri sipil, tentara maupun swasta, hal ini sangat mempengaruhi motivasi belajar siswa di sekolah.
19.  Tidak adanya reward bagi sekolah yang benar-benar serius, prestasi, menunjukan adanya      peningkatan dalam berbagai aspek sekaligus punishment bagi sekolah yang semakin tidak karuan stagnan dsb.



BAB II
PEMBAHASAN DAN ALTERNATIF YANG DITAWARKAN

Dari gambaran latar belakang masalah dan data serta fakta yang telah penulis paparkan diatas, menunjukkan betapa rumitnya permasalahan yang menyelimuti  dunia pendidikan kita, bak mengurai benang kusut tentulah harus terlebih dahulu diketahui ujung pangkalnya, hal ini disamping agar bisa segera terurai dan terselesaikan juga agar tidak menambah permasalahan baru yang justru menambah keruwetan yang sudah ada. Contoh dahulu sebelum diluncurkannya program pemerintah yang bernama tunjangan profesi pendidik, mungkin banyak orang berfikir bahwa dengan diberinya tambahan kesejahteraan bagi guru akan bisa meningkatkan kualitas pribadinya, menambah ilmu pengetahuannya, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Namun apa yang terjadi, walaupun banyak yang mengatakan masih butuh waktu untuk melihat hasil dari program tersebut, penulis justru menganggap program tersebut hanya menambah beban disemua aspek dan banyak ekses negatif yang ditimbulkan, berikut ini contoh-contoh ekses yang telah dirasakan dari program tunjangan profesi pendidik yang lebih dikenal dengan tunjangan sertifikasi :
a.       Karena guru yang telah mendapatkan tunjangan sertifikasi tidak menunjukkan adanya perubahan yang mengarah kepada guru profesional sesuai dengan sertifikat yang disandangnya, maka banyak dipakai acuan guru lain yang belum mendapat tunjangan sertifikasi berbuat seenaknya  dengan alasan belum mendapat tunjangan sertifikasi (wong yang sudah dapat ya begitu saya begini kan sudah baik).
b.      Terjadinya peluang KKN baru yang sebelumnya tidak pernah dijumpai, mulai dari penentuan calon peserta sertifikasi, jual beli sertifikat, jual beli karya tulis, sertifikat aspal, seminar pendidikan yang aspal, diklat yang aspal dan lain sebagainya, yang disadari atau tidak ini akan mendidik para guru kita untuk berbuat KKN, berlaku tidak jujur dan penuh kepura-puraan yang semua akan merusak dunia pendidikan kita.
c.       Terjadinya perubahan pola hidup dan perilaku guru karena adanya perubahan pendapatan yang amat menyolok yang cenderung menuju kurang baik bagi kehidupan seorang guru yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi siswa dan masyarakat dilingkungannya, seperti kehidupan yang glamour perilaku aneh-aneh dari orang kaya baru dan lain sebagainya, yang semuanya berpengaruh negatif terhadap pola kerjanya.
d.      Disadari atau tidak program sertifikasi tersebut telah banyak mengarahkan guru kearah materialistis dan menghilangkan pengabdian seorang guru sebagai bekal di akhirat kelak seperti yang dahulu telah dicontohkan oleh pelopor, perintis pendidikan juga oleh guru-guru tempo dulu yang begitu sederhana dan bersahaja tetapi penuh dengan keihlasannya, sehingga doanya begitu makbul untuk para siswanya, kehidupannya sendiri damai, tentram, terpandang dan jadi panutan di masyarakat. Sebagai seorang yang beragama semua dari kita pasti percaya bahwa dalam mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa ini bukan hanya dengan ilmu pengetahuan, keterampilan dan metode pembelajaran yang handal serta lengkapnya sarana prasarana, akan tetapi keteladanan, keikhlasan dan doa guru juga amat sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pendidikan secara utuh.
e.       Begitu menggiurkannya program sertifikasi untuk guru dan tunjangan jenis lainnya, sekarang profesi guru banyak menjadi alternatif terbaik untuk mengais rejeki, sehingga banyak yang jauh dari kelayakan dimasukkan jadi guru, kuliah asal dapat ijasah jadi guru, anak-anaknya, kerabat, teman pengurus yayasan jadi guru dan sarat dengan KKN sehingga lebih memperparah keadaaan didunia pendidikan kita. Bahkan yang lebih parah lagi itu lebih banyak terjadi ditingkat dasar atau paud, yang merupakan dasar dari pendidikan selanjutnya.
f.       Hari-hari banyak guru yang disibukkan dengan urusan sertifikasi, persiapan sertifikasi, seminar sana seminar sini, urusan impasing, ngerumpi membahas cairnya dana sertifikasi, meninggalkan siswa tandatangan realisasi, rekreasi, makan-makan syukuran dana sertifikasi cair dan lain sebagainya yang kalau kita cermat semua merugikan dunia pendidikan kita.
Dengan adanya program sertifikasi ini memang tidak banyak lagi kita dengan guru sambil jadi tukang ojek, guru sambil jadi kuli panggul dan sejenisnya walaupun pekerjaan semacam itu adalah mulya, tapi sekarang mulai kita dengar guru suka keliaran di mall, guru punya istri simpanan dan lain sebagainya, sehingga tunjangan profesi dan tunjangan lain bukan mengurangi permasalah yang ada didunia pendidikan malah menambah rumitnya masalah yang ada, kecuali hanya kesejahteraan yang bertambah. Penulis pribadi sangat senang dengan program tersebut karena penulis juga menikmatinya, akan tetapi alangkah indahnya jika program tersebut sekaligus dipakai untuk pemetakan kemampuan dan kelayakan seorang guru, mestinya sertifikat pendidik hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar professional sekaligus sebagai reward, seperti yang sudah diterapkan dibeberapa perusahaan asing dan perusahaan penerbangan. Kalau toh untuk perbaikan taraf hidup guru masak harus sebesar itu ?.
Contoh diatas adalah satu contoh dari sekian permasalahan baru yang timbul akibat ekses dari adanya program yang niatannya baik tapi mungkin karena kesiapannya kurang, atau salah menganalisa maka hasilnya kurang tepat sasaran bahkan cenderung berekses negatif. Penulis yakin bahwa program sertifikasi bukan murni dari keinginan guru, mungkin program tersebut timbul dari orang-orang yang ingin menghargai guru atau mungkin juga program strategis yang mengandung unsur politis sehingga menurut penulis program tersebut masih harus dikaji lagi lebih dalam agar lebih tepat sasaran dan tidak berdampak negatif terhadap perkembangan pendidikan nasional.
Untuk mengurai segala permasalahan yang ada didunia pendidikan kita saat ini penulis mencoba membagi sekian banyak permasalahan yang ada dalam dua permasalah utama yakni : belum optimalnya mutu lulusan dan biaya pendidikan relative sangat tinggi.

1.        Belum optimalnya mutu pendidikan kita
Seperti kita ketahui bersama tujuan yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan nasional kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dari semua aspek yang hendak dicapai pada tujuan pendidikan nasional tersebut rasanya hampir semua aspek belum dapat dicapai secara maksimal (walaupun secara fakta tingkat kelulusan secara nasional diatas 95%), baik dari aspek  penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, aspek penguasaan keterampilan, aspek moral dan aspek kepribadian. Dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas sangat ditentukan dari faktor  manusianya (pimpinan sekolah, tenaga pendidik serta tenaga kependidikan lainya), kurikulum dan sarana prasarana. Dari ketiga faktor penentu tersebut faktor manusianyalah yang paling menentukan dan memegang peranan paling penting walaupun faktor yang lain tidak bisa kita anggap remeh. Seberapapun lengkapnya sarana dan prasarana yang ada sempurnanya kurikulum yang dibuat tetap saja masih sangat tergantung dari manusianya yang menjalankan, begitu pula sebaliknya banyak membuktikan kepada kita ditangan pimpinan sekolah, guru dan tenaga kependidikan yang kreatif, inovatif dan mempunyai keinginan yang kuat untuk maju dan berprestasi, maka sarana dan prasarana yang serba kekurangan sekalipun tetap bisa dioptimalkan dan tidak mengurangi mutu dalam proses pembelajarannya.
Jika kurikulum selalu dilakukan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan jaman namun hasil yang dicapai tidak lebih baik dari pelaksanaan kurikulum sebelumnya, sarana prasarana sekolah yang ada saat ini jauh lebih mendekati standar minimal sarpras, dukungan anggaran dari pemerintah dan masyarakat jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, namun mutu lulusan yang dihasilkan cenderung tidak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, maka penulis lebih yakin kalau rendahnya mutu pendidikan kita saat ini lebih banyak disebabkan oleh faktor manusianya, menggunakan  istilah yang dipakai oleh Johanes Surya  “tidak ada murid bodoh yang ada adalah murid yang  belum mendapatkan  guru yang baik”, karena guru adalah motivator bagi siswa, guru adalah sumber dan teman belajar, guru adalah penyebar virus N-Ach, guru adalah pembimbing kemajuan dan kematangan berfikir siswa.
Ada beberapa hal menurut penulis yang menyebabkan rendahnya kualitas  guru ,pimpinan sekolah dan tenaga kependidikan lainnya diantaranya :
a.    Kompetensinya  rendah, Seperti kita ketahui bersama bahwa seorang guru dikatakan professional atau layak menyandang jabatan sebagai profesi guru harus memiliki prinsip profesionalitas dan memiliki sekurang-kurangnya empat kompetensi guru. Berdasarkan      UU RI no.14 th 2005 bab III pasal 7 ayat (1) disamping mempunyai hak guru/dosen harus :
(1)     Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idialisme.
(2)     Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.
(3)     Memiliki kualifikasi akademik dan latar pendidikan sesuai dengan bidaang tugas,
(4)     Memiliki  kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas,
(5)     Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
Kompetensi yang dimaksud pada ayat diatas adalah sesuai dengan UU RI no 14 th 2005 bab IV pasal 10 ayat (1), kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional.
Sejauh ini yang bisa kita lihat sehari-hari di lapangan masih banyak kita jumpai guru-guru kita yang masih jauh dari kreteria profesinalitas seorang guru, hampir dari semua unsur  profesinalitas belum terpenuhi, saat ini  kualifikasi akademik hanya dilihat dari ijasah yang disandangnya, padahal kalau kita semua mau jujur hal itu tidak bisa menjamin akan kemampuan akademis yang bersangkutan. Walaupun tidak dirilis dalam sebuah jurnal khusus hasil tes para guru bidang studi UN menunjukkan perolehan nilai para guru peserta tes mayoritas dibawa angka 50 padahal soal tes yang dipakai menggunakan kisi-kisi UN (penjelasan dari petugas PPG Jawa Timur di Surabaya), rendahnya kemampuan akademis kebanyakan guru-guru kita ini bisa disebabkan karena tingkat kecerdasannya rendah, yang seharusnya yang bersangkutan tidak berkelayakan sampai lulus sarjana, atau pada saat belajar/kuliah yang bersangkuatan tidak sungguh-sungguh, contek sana contek sini saat ujian, copy sana copy sini saat mengerjakan tugas atau karena  standar kelulusan tempat dia belajar sangat longgar sehingga ijasah yang disandangnya tidak menunjukkan kemampuan akademisnya. Seharusnya orang-orang yang kemampuan akademisnya rendah seperti itu tidak bisa diterima dimanapun untuk mengisi lowongan sebagai  guru, yang bersangkutan bisa diterima sebagai guru bukan karena kemampuan akademisnya, akan tetapi karena faktor lain mungkin adanya jalur khusus, mungkin KKN, mungkin karena hubungan dekat, keluarga, teman atau mungkin juga dengan memberikan sesuatu atau mungkin tidak ada pilihan lain. Hal ini tidak hanya terjadi saat rekruitmen tenaga pendidik, pemilihan pimpinan sekolah, tenaga kependidikan lainya yang berstatus PNS saja, akan tetapi juga demikian dibanyak sekolah swata yang diangkat oleh yayasan justru lebih parah.
Seharusnya untuk rekruitmen guru standar tes yang digunakan harus lebih menyeluruh, disamping tes potensi akademik, tes keahlian, tes kepribadian, pengetahuan umum, social dan psychology.  Guru  adalah karyawan/tenaga kerja, akan tetapi guru bukan karyawan biasa yang hanya membutuhkan beberapa persaratan dasar, guru adalah karyawan plus-plus, guru adalah manusia setengah dewa  yang dituntut untuk dapat menstransfer ilmu,  mendidik, memotivasi, merobah perilaku, kepribadian dan moral siswa.
Disamping harus memiliki dasar pengetahuan dan keterampilan, profesi guru masih juga dituntut segudang prasarat lain seperti yang berlaku pada karyawan/tenaga kerja lain walaupun mungkin prasyarat tersebut secara eksplisit belum tertulis dalam standart kompetensi guru.
Mengacu pada standar kelayakan tenaga kerja menurut ILO seorang tenaga kerja dikatakan kompeten jika memiliki empat kompetensi yang meliputi :
(1)     Kompetensi kepribadian, yang meliputi :
-       Portur tubuh yang ideal (sehat jasmani dan rohani )
-       Disiplin, tanggung jawab, jujur, kreatif dan inovatif
-       Sikap dan etika terpuji
-       Kemampuan belajar materi baru
-       Keinginan berprestasi yang tinggi
-       Fleksibel dan kedewasaan
-       Kepercayaan diri
-       Ketertarikan dan komitmen pada pekerjaan.
(2)     Kompetensi keterampilan, meliputi kemempuan :
-       Mengenal, mempelajari dan menerapkan teknologi baru
-       Merumuskan dan menetapkan tujuan yang tepat
-       Melaksanakan pekerjaan dengan benar
-       Menggunakan peralatan kerja dengan benar
-       Mengoperasionalkan teknologi informasi
(3)     Kompetensi metodik, meliputi kemampuan :
-       Bekerja secara sistematik
-       Menghimpun dan mengevaluasi informasi
-       Memecahkan masalah
(4)     Kompetensi sosial, meliputi kemampuan :
-       Berkomunikasi dengan baik
-       Bekerjasama dengan tim
-       Menerima dan mengembangkan gagasan baru
-       Ber-organisasi dan memimpin
-       Bertanya  dan menjawab
Kalau kita cermati standar kelayakan tenaga kerja yang dikeluarkan ILO tersebut semuanya wajib dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya, setidak-tidaknya hal tersebut akan dapat membantu guru untuk merubah kepribadian dan meningkatkan kompetensi siswa kearah standar kompetensi diatas. Sebuah pertanyaan sederhana yang kita semua sudah mengetahui jawabannya bagaimana dengan guru yang tidak memiliki kompetensi diatas ? apakah siswa yang dihasilkan dapat kompeten ?
Demikian juga dengan prinsip-prinsip keprofesionalan yang lain dan kompetensi yang lain, semua masih patut dipertanyakan, hal ini disebabkan  pada saat rekruitmen  hal-hal tersebut tidak diujikan , soal ujian guru PNS tidak bedanya dengan PNS yang lain terlebih untuk guru swasta tidak semua sekolah bahkan mungkin mayoritas tidak menggunakan tes dalam merekrut guru.
Kalau mau dihitung jumlah tenaga pendidik atau tenaga kependidikan lain yang kondisinya seperti itu jumlahnya sangat banyak.
b.    Need of achievement rendah. Mungkin secara akademis yang bersangkutan memenuhi standart kelayakan akan tetapi dalam menjalankan tugasnya hanya memenuhi kewajiban pokoknya saja tanpa mempunyai standar lebih, tidak mempunyai keinginan untuk meningkatkan kualitas diri dan profesinya.
Orang yang mempunyai keinginan berprestasi yang tinggi menurut DEPNAKER sekarang DEPNAKERTRANS biasanya memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
(1)     Suka memikul tanggung jawab pribadi dalam memecahkan persoalan,
(2)     Cenderung mengambil tantangan (resiko sedang/dipertimbangkan),
(3)     Selalu menggunakan umpan balik (feed back) untuk menilai sebaik mana ia sudah bekerja,
(4)     Merasa dikejar-kejar waktu (sangat menghargai waktu),
(5)     Mengerjakan sesuatu dengan kreatif dan inovatif
(6)     Menyukai situasi yang serba mungkin,
(7)     Berinisiatif dan suka menyelidiki serta mempelajari lingkungan (peka terhadap lingkungan),
(8)     Lebih menyukai kegiatan untuk mendapatkan keahlian.
Guru merupakan penyebar virus Need of Achievement pada siswa, sebagai penyebar virus haruslah terlebih dahulu memiliki virus itu sendiri, kita tidak bisa berharap banya siswa akan terkena virus N-Ach manakala gurunya saja tidak memilikinya. Secara ekstrim ditangan gurulah perubahan siswa digantungkan, bukan mustahil siswa yang berpotensi akan menjadi lemah ketika mendapatkan guru yang N-Ach nya rendah, begitu pula sebaliknya. Itulah mungkin yang dikatakan oleh Prof. Johanes Surya bahwa sebenarnya tidak ada siswa yang bodoh tetapi yang ada siswa yang belum mendapat kesempatan dapat guru yang baik, guru yang keinginan berprestasinya tinggi. Orang yang  N-Ach nya tinggi tidak tergantung hanya pada fasilitas, tidak mau berhenti berbuat kebaikan, tidak mau menyia-nyiakan waktu, tidak pernah terbersit dihatinya kata tidak mungkin, tidak bisa atau terlalu banyak alasan akan tetapi rasa optimislah yang selalu menempati di lubuk hatinya.
Tidak berlebihan kiranya kalau Henry Ford pernah mengatakan “Ambillah semua harta kekayaanku, semua asset-asetku, tetapi jangan kamu ambil orang-orangku, maka akan kubangun kembali companyku”. orang yang dimaksud ford tersebut tentulah orang-orang pilihan, kompeten dibidangnya dan memiliki N-Ach yang tinggi. Mereka adalah asset yang sangat berharga lebih berharga dibanding harta kekayaan perusahaan dan asset yang lain, hal ini telah terbukti ford telah mampu membangun company dan merajai industri permobilan di Amerika. Orang seperti itulah yang dimaksud oleh sang kaisar Jepang, orang seperti itulah yang pantas sertifikat tenaga pendidik professional, pantas mendapat tunjangan sertifikasi dan orang semacam itulah yang pantas digugu dan ditiru dan pantas menyandang gelar kehormatan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA.      
Dari data hasil penelitian penulis terhadap sekitar 500 orang guru baik yang berstatus pegawai negeri sipil, guru tetap Yayasan dan guru tidak tetap, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat atas terhadap motivasi berprestasinya menunjukkan hasil 96% peserta tes menunjukkan motivasi berprestasinya rendah, 4% sedang dan yang tinggi 0%.
c.    Guru bukan pekerjaan yang membanggakan. Sejarah masa lalu banyak masyarakat, orang tua atau yang bersangkutan menganggap menjadi guru adalah pekerjaan yang tidak dapat dibanggakan, bahkan masih banyak yang menganggap guru sebagai pekerjaan pilihan yang terakhir setelah pekerjaan lain tidak didapatkan. Sehingga mulai pilihan saat kuliah pilihan untuk masuk ke perguruan tinggi keguruan juga pilihan terakhir, yang kenyataannya lulusan SLTA yang pandai hampir dipastikan tidak ada yang masuk keguruan, ini berarti memang yang kuliah ke ilmu keguruan adalah dari kalangan lapis 3 atau empat bahkan dari lapis bawah yang biasanya masuk di perguruan tinggi ilmu keguruan swasta.
Karena tidak adanya rasa bangga menjadi guru inilah sehingga tidak timbul rasa ingin berbuat optimal, tidak ingin memperdalam ilmunya, tidak ingin berbuat lebih baik, banyak yang  dalam menjalankan tugas asal-asalan.
d.    Akibat rekruitmen yang berbau KKN. Apapun jenis, macam dan caranya rekruitmen guru yang berbau KKN didalamnya, baik untuk guru PNS maupun guru yayasan, sangat berdampak negatif terhadap dunia pendidikan kita, hal ini disebabkan rekruitmen semacam itu biasanya tidak memperhatikan standar kelayakan yang telah ditentukan. Guru, tenaga kependidikan lain yang diperoleh dari cara seperti itu kalau kita telusuri secara jujur jumlahnya amat banyaknya dan segala permasalahan di dunia pendidikan kita yang menjadi pekerjaan rumah kita semua saat ini termasuk juga permasalahan rendahnya kualitas lulusan, rendahnya kualitas sebagian besar guru-guru, mahalnya biaya pendidikan di neger ini biang keroknya adalah akibat adanya KKN. 
e.    Banyaknya guru instant. Guru instant biasanya juga kuliahnya instan, Akta IV instan, persiapan mengajar instan dan semua serba instan. Mereka hanya sekedar memenuhi persyaratan administrasi, sekedar memiliki gelar sarjana, sekedar mengajar tidak pernah mendidik, hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa peduli akan merugikan orang lain, mereka hanya mengejar gaji bukan prestasi.
f.     Hanya cari uang atau status atau sambilan. Mereka bekerja bukan atas dasar pengabdian melainkan tidak lebih hanya sekedar cari uang bahkan mungkin sambilan, mereka tidak sadar bahwa dipundaknya ada tanggung jawab besar untuk masa depan anak bangsa, mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan kelak akan dipertanggungjawabkan.  Akibat dari adanya guru yang seperti itu, maka rasa tanggungjawab dan komitmen untuk mengembangkan pendidikan dimana yang bersangkutan menjadi guru sangat dipertanyakan, guru seperti itu melaksanakan tugas pokok saja sudah luar biasa. Dari hasil penelitian penulis yang dilakukan sekitar 500 orang guru pada kesempatan yang sama dengan penelitian diatas terhadap perioritas kebutuhannya menunjukkan hanya 2,5% yang menunjukkan kebutuhan aktualisasi diri, 72% fisiologi dasar dan sisanya kebutuhan yang lain yaitu social, rasa aman dan penghargaan.
g.    Standar baku untuk rekruitmen guru dan tendik yang lain belum pas.
Pola rekruitmen guru atau tenaga kependidikan belum punya standar baku yang mampu memberi cermin utuh terhadap calon, baik cermin kemampuan akademisnya, kepribadiannya, sosialnya terutama psikologinya. Tes-tes yang selama ini dilakukan untuk rekruitmen tenaga pendidik atau tenaga kependidikan masih sama dengan rekruitmen PNS yang lain terlebih lagi untuk yang bukan berstatus PNS.
h.    Sangsi dan penghargaan belum dilaksanakan. Kurang tegasnya sangsi bagi guru yang tidak mampu memenuhi kreteria adalah juga dapat merupakan faktor yang menjadikan guru tidak terpacu untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan profesinya, bahkan ada kecenderungan tidak adanya evaluasi yang oleh fihak yang berwenang terhadap kinerja dan kompetensi guru, sehingga apapun kondisinya mereka tetap mendapatkan hak yang sama. Begitu juga bagi mereka yang sungguh-sungguh dan menunjukkan prestasi kerjanya tidak jelas rewardnya, hal ini akan memicu terjadinya apatisme, bekerja ala kadarnya dan asal datang, mengajar.
i.      Lembaga penghasil guru belum dapat menghasilkan lulusan yang kompeten. Seharusnya para pengelola lembaga yang menghasilkan lulusan calon guru lebih memperketat sarat kelulusannya, sehingga tidak menghasilkan limbah-limbah sarjana yang merepotkan orang lain, lembaga tersebut seharusnya membekali hal-hal yang berkenaan dengan keprofesian guru walaupun tidak 100%. Apalagi dengan banyaknya IKIP berubah status menjadi Universitas patut dipertanyakan apakah komitmen untuk mencetak sarjana pendidikan masih seperti sebelumnya, apakah tidak lebih mengarah kepada ilmu murni. Kalau yang terjadi sudah demikian bisa bibayangkan bagaimana pendidikan kita kedepan.
j.      Pelatihan, work shop dan sejenisnya tidak optimal. Seharusnya rendahnya kompetensi guru yang kita hadapi ini bisa diminimalisir dengan kegiatan pelatihan, work shop, pemagangan dan lain sebagainya kalau dalam penyelenggaraannya dilaksanakan dengan terencana, sungguh-sungguh, berdasarkan based problem, alokasi waktu yang cukup, dilakukan evalusai yang sungguh-sungguh (tidak seperti yang selama ini kita ketahui asal datang, absen, masuk kelas dapat sertifikat. Jika perlu ada remedial untuk peserta yang tidak lulus). Padahal sudah berapa banyak sumberdaya yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun sekolah untuk membiayai kegiatan semacam itu namun hasil yang didapat tidak seimbang dari biaya yang dikeluarkan bahkan ada kecenderungan kegiatan tersebut untuk menghabiskan anggaran semata.
k.    Penerapan manajemen sekolah yang tidak pas. Manajemen yang diterapkan oleh kepala sekolah juga berpengaruh besar terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah tersebut. Kemampuan manajerial kepala sekolah untuk memberdayakan dan mengoptimalkan sumberdaya yang ada, memilih dan menentukan pilihan yang tepat sangat ditentukan oleh kompetensi yang dimiliki kepala sekolah tersebut. Banyak terjadi guru tidak bisa mengembangkan dirinya karena terbentur oleh kebijakan kepala sekolah. Masih banyak kepala sekolah yang kompetensinya belum sesuai dengan standar kompetensi kepala sekolah. Jika ditilik lebih lanjut ujung-ujungnya juga adanya rekruitmen kepala sekolah yang berbau KKN (mungkin teman, mungkin team sukses dan lain sebagainya) yang tidak melalui seleksi khusus dengan kreteria khusus, pelatihan khusus lebih-lebih untuk sekolah swasta walaupun tidak semuanya.  
l.      Kondisi psikologi guru. kondisi psikologi guru sangat berpengaruh terhadap proses PBM di kelas, seberapapun pandainya seseorang ketika yang bersangkutan banyak masalah, marah, jengkel maka semua kepandaiannya akan berkurang bahkan mungkin hilang. Belum lagi ketika guru sudah negatif thinking atau apriori dengan siswa, maka biasanya dalam benaknya sudah tertanam hal-hal yang negatif tentang siswanya, yang timbul akibat hal seperti ini muncullah rasa malas mengajar, timbul perasaan tidak ihlas, tidak mau mendoakan siswa bahkan yang sering terjadi guru akan mengumpat, mengecam bahkan melaknat siswa. Jika yang terjadi demikian maka akan sulit PBM berjalan sukses, keberkahan ilmupun akan sulit didapat siswa. (gembok psikologi sang guru, artikel penulis). Lebih parahnya lagi perhatian kita semua akan kondisi psikologi guru porsinya sangat kurang seimbang dibanding dengan lainnya. Hal ini dibuktikan pelatihan-pelatihan, workshop, refreshing dan lain sebagainya masih banyak berkutat pada metodologi pembelajaran, bidang studi, pemanfaatan teknologi informasi, sistem evaluasi, kalaupun ada biasanya hanya untuk guru BP/BK, bukankah yang lebih banyak berhadapan dengan siswa, lebih banyak mengetahui masalah siswa adalah guru ?  
2.        Tingginya biaya pendidikan.
Tingginya biaya pendidikan di negeri ini masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, sehingga tidak sedikit masyarakat yang harus merelakan untuk tidak tidak melanjutkan putra/putrinya ke jenjang yang lebih tinggi, padahal pemerintah sudah dengan susah payah mengupayakan agar biaya pendidikan dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat bahkan membebaskan bagi yang tidak mampu. Namun tidaklah demikian yang terjadi dilapangan, walaupun sudah ada BOSS untuk pendidikan dasar, BKSM, BOMM untuk SMK dan BOPDA untuk daerah tertentu, tidak dapat menjamin tidak adanya pungutan lagi dari sekolah.
Banyak alasan sebagai dalih untuk memungut dana dari masyarakat/orang tua/wali murid, semua berkedok meningkatkan kualitas, ada yang dengan mengadakan les, ada yang dengan membuat excellent class, ada yang dengan international school, giant school, perbaikan sarana dan prasarana, biaya studi banding keluar negeri, kegiatan komite dan lain sebagainya.
Tidak salah memang kalau ada masyarakat yang membandingkan sekarang dengan masa orde baru, masa orde baru biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat tidak sebanyak sekarang, buku pelajaran dipinjami dari buku paket, sekolah negeri gratis dan masih banyak lagi alasan yang disampaikan oleh masyarakat, padahal anggaran pendidikan saat itu masih sangat minim.
Jika dibandingkan dari mutu lulusan rasanya juga tidak menunjukkan perubahan yang signifikan saat ini dengan ketika masa orde baru.
Menurut hemat penulis ada beberapa penyebab tingginya pendidikan kita, diantaranya :
a.    Tidak adanya standar biaya operasional pendidikan yang akuntabel. Selama ini sekolah dengan seenakknya sendiri menentukan besaran biaya yang ditanggung oleh masyarakat/ orang tua/wali murid, kalau toh ada yang mengatakan semua sudah ada kesepakatan dengan orang tua/wali murid yang diwakili oleh komite sekolah, kita juga tahu tidak sedikit komite sekolah yang hanya panjang tangan dan corong kepala sekolah, dibentuk oleh kepala sekolah yang hanya menuruti keinginan kepala sekolah.
Dengan tidak adanya standar biaya operasional pendidikan ini bukan hanya masyarakat yang merasakan beratnya beban yang ditanggungnya, namun pemerintah juga semakin berat babanya. Bahkan tidak hanya itu akan tetapi kemungkinan adanya main mata, penyelewengan, korupsi, pungli dan penyalahgunaan anggaran cukup memberikan peluang.
Dalam menentukan besaran standar operasional biaya pendidikan tentulah harus didasarkan pada banyak faktor diantaranya daerah, jenis sekolah, status sekolah dan juga faktor-faktor lain yang menjadi variabel penyusunan anggaran pendidikan. Jika hal ini bisa dilakukan tentunya akan dapat membatasi adanya hal-hal yang tidak diinginkan, menghemat biaya pendidikan yang pada akhirnya mengurangi beban masyarakat juga beban pemerintah.
b.    Kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Adanya kebijakan pemerintah baik pusat, propinsi maupun kabupaten/kota yang kurang tepat dalam arti tepat sasaran, tepat guna dan tepat waktu, sehingga banyak anggaran yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sekolah, tetapi  masyarakat masih juga harus menenggung biaya yang semestinya tidak diperlukan (double budgeting).
c.    Masih adanya KKN dan sejenisnya. Dengan adanya KKN dan sejenisnya dilingkungan pendidikan maka menjadikan pendidikan biaya tinggi, biaya yang semestinya tidak diperlukan harus dianggarkan walaupun pada praktek penganggarannya dimasukkan pada anggaran tertentu. (misal : tambahan transport untuk pengawas sekolah, tambahan transport untuk assessor saat akreditasi, tambahan transport unyuk kepala sekolah saat melakukan studi banding, workshop, ucapan terima kasih untuk si A si B yang telah memberikan kemudahan dan bantuan dan lain sebagainya ).
Kalau toh tidak menambah biaya langsung akibat adanya KKN dan sejenisnya ini sekolah tetap akan menanggung biaya tidak langsung (misal adanya bantuan yang di sunat atau untuk memberi ucapan terima kasih kepada si anu, maka pemanfaatan bantuan akan dibawah standart kelayakan yang berakibat umur teknisnya juga akan berkurang, pada saatnya akan membutuhkan biaya perawatan atau mungkin penggantian, kemana lagi sekolah mencari sumber pembiayaan ya tentunya ke masyarakat/wali murid ).
d.    Terjadinya pemborosan anggaran. Kalau kita perhatikan terjadinya pemborosan biaya  ini disebabkan oleh banyak hal diantaranya : proses pembuatan RAPBS tidak berdasarkan kebutuhan tetapi berdasarkan keinginan, adanya korupsi dan sejenisnya, kurang pandainya  memanage keuangan, kurangnya kreatifitas kepala/pimpinan sekolah sehingga tidak mampu mengoptimalkan sumberdaya yang ada sehingga segalanya sesuatunya serba harus membeli baru, kurangnya pengawasan atau mungkin memang aji mumpung.
e.    Masih adanya mafia buku dan lembar kerja siswa. Bisnis (jika tidak boleh disebut mafia) buku atau LKS ini sangat menggiurkan, betapa tidak dalam satu tahun/dua semester dapat meraup keuntungan yang luar biasa, bahkan untuk sekolah yang jumlahnya sekitar seribu siswa setahun bisa dapat beli mobil dan itu sudah menjadi rahasia umum.
f.     Banyak kegiatan/proyek yang dipaksakan yang ujung-ujungnya keuntungan. Pikiran negatif dan selalu mencari kesempatan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari sekolah, biasanya sangat kreatif untuk membuat kegiatan/proyek, teknis, cara dan jenis kegiatan sangat dipaksakan tanpa mempedulikan aturan dan norma yang ada yang penting mendapat uang. Kata orang jawa semboyan orang seperti ini  adalah “wal-wal keduwal, mbuh kasur mbuh bantal, mbuh celono mbuh suwal, mbuh sepatu mbuh sandal, mbuh ulo mbuh kadal, mbuh watu mbuh ungkal, mbuh beton mbuh aspal, mbuh perahu mbuh kapal, mbuh , mbuh, mbuh, mbuh haram mbuh halah pokok kontal yo diuntal”.
g.    Belum adanya pemetaan kebutuhan pasar (khususnya SMK). Seperti diketahui bahwa dalam realitasnya lulusan SMK atau SMA yang masuk dunia kerja amat sedikit yang sesuai dengan keterampilan yang didapatkan di sekolah, padahal untuk mendapatkan keterampilan tersebut sangat banyak dikeluarkan biaya, hal ini karena belum diketahuinya peluang pasar kerja yang tersedia ketika siswa tersebut lulus, sehingga untuk mengantisipasinya diberikannya keterampilan yang multi sehingga dapat mengantisipasi jika dibutuhkan. Lain halnya jika kebutuhan sudah terdeteksi sebelumnya. Bahkan yang lebih konyol lagi, jika yang bersangkutan bekerja dibagian produksi yang tidak membutuhkan keterampilan tertentu dan hanya membutuhkan  sikap dan etos kerja yang baik, fisik yang prima serta kemauan kerja dan komitmen terhadap pekerjaan yang tinggi, maka biaya yang dikeluarkan untuk praktek keterampilan selama disekolah seakan sia-sia.    
h.    Prinsip efektif dan efisien belum dilaksanakan, keterbatasan kemampuan manajemen pinpinan sekolah, keterbatasan kreatifitas semua unsur sekolah, tidak adanya sains of crisis, kurang peduli ketebatasan ekonomi wali murid, rendahnya tanggung jawab terhadap tugas yang diemban atau tidak memiliki pengalaman. 
i.      Tidak mampunya optimalisasi sumberdaya yang ada. Hal ini terjadi karena kurangnya kemampuan, pengalaman manajeman atau karena tidak mau bersusah-susah atau memamg kesengajaan untuk mendapat keuntungan.
j.      Manajamen tidak tepat, tidak tepatnya pengaturan/memenej terhadap sesuatu hal maka dapat dipastikan akan terjadi pemborosan.
k.    Prinsip yang keliru, anggapan bahwa prestasi selalu dikaitkan dengan uang, prinsip inilah yang digembar-gemborkan oleh penyelenggara pendidikan, kepala sekolah bahkan mungkin juga guru sehingga timbul image dimasyarakat  bahwa kalau ingin anaknya pandai ya harus bersedia keluarkan anggaran lebih.
l.      Tidak memahaminya filosofi dasar pendidikan, sehingga melakukan sesuatu, mengadakan sesuatu, membeli sesuatu bukan atas dasar kebutuhan tapi keinginan
m.  Aji mumpung, mendirikan sekolah dengan tujuan bisnis semata
n.    Daya dukung ekonomi masih sangat rendah sehingga belum mampu menjangkau kebutuhan biaya pendidikan,      


BAB III
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Dari permasalahan yang ada maka diusulkan beberapa penyelesaian masalah, tentunya didasarkan pada segala kemampuan dan kekurangan yang ada yang diharapkan dapat memberikan perubahan yang signifikan terhadap perkembangan dunia pendidikan kita baik secara bertahap atau mungkin diperlukan penanganan cepat/revolusioner. Adapun alternatif yang dimaksud adalah :
a.    Menstop dan tidak memberikan ruang sedikitpun terjadinya KKN pada pelaksanaan rekruitmen tenaga pendidik baik yang bersatus PNS juga non PNS, hal ini untuk memutus mata rantai agar tidak lagi didapat tendik yang tidak professional yang hanya menyulitkan semua fihak, menghambat tercapainya tujuan sekolah bahkan tujuan pendidikan nasional.
Jika dipandang perlu untuk tendik yang berstatus non PNS sekalipun, jika tetap terjadi pelanggaran maka sekolah yang bersangkutan akan dikenahi sanksi seperti tidak diberikan tunjangan apapun untuk guru yang tidak memenuhi kreteria kelayakan. Rekrutmen yang paling tidak karuan paling banyak terjadi  di sekolah swasta.
b.    Mensyaratkan test bidang psikologi dan pengalaman sosial kemasyarakatan pada calon tenaga pendidik, atau calon penerima sertifikat profesi tenaga pendidik, karena pada dasarnya kondisi psikologi seseoranglah yang memacu yang bersangkutan untuk mau berbuat sesuatu. (terlampir hasil kajian penulis).
c.    Memperketat pemberian sertifikat profesi tenaga pendidik, tidak seperti selama ini yang hanya formalitas semata (PTK, Sertifikat, SK aspal dan diperjual belikan) yang berakibat tidak membawa dampak positif yang signifikan dengan anggaran negara yang dikeluarkan. Terkecuali bagi yang sudah usianya diatas 50 tahun sebagai reward masa pengabdiannya, jika dipandang perlu baik yang sudah mendapat sertifikasi dalam kurun lima tahun dilakukan uji ulang dan jika memang diketahui tidak layak sertifikat bisa dicabut kembali. Karena pelaksanaan sertifikasi yang selama ini dilakukan hanya formalitas diatas kertas saja. Bahkan sangat mungkin juga dilakukan mutasi dari tenaga pendidik ke staf administrasi dan lain sebagainya.
d.    Tidak memperbolehkan guru PNS mengajar rangkap dengan sekolah swasta (terkecuali untuk daerah khusus) dan memberikan sangsi tegas baik kepada yang bersangkutan maupun kepada lembaga tempat yang bersangkutan ditugaskan atau merangkap. Karena salah satu penghambat terbesar pada masalah guru adalah adanya guru yang mengajar dibeberapa tempat. Biasanya sering bolos, meninggalkan kelas, tidak tertib administrasi, sering sakit karena kecapekan, hanya menyuruh siswa menulis yang bersangkutan ngantuk kecapekan, tugas siswa tidak pernah dikoreksi dan hanya dipakai alat untuk tidak mengajar, tidak mau ditugaskan untuk pelatihan dan lain-lain. Efek samping dari tidak diperbolekannya guru PNS rangkap jabatan adalah terbukanya peluang  bagi lulusan-lusan yang baru.
e.    Mengadakan test terhadap semua kompetensi guru sebagai pemetaan untuk melakukan up grading /pelatihan terhadap segala aspek kompetensi tenaga pendidik yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara prosedur yang benar dan dilakukan dengan sungguh-sungguh termasuk evaluasi hasil pelatihan yang tetap harus menggunakan standart lulus atau  tidak lulus (tidak secara otomatis peserta pelatihan lulus dan bersertifikat seperti selama ini). 
f.     Mengetatkan aturan ketenagaan tenaga pendidik atau menjalankan secara ketat tugas dan kewajiban tenaga  pendidik.
g.    Hampir semua penyimpangan dan penyalahgunaan itu bermula dari kepala sekolah maka rekrutmen kepala sekolah harus berdasarkan kompetensi yang ada sehingga kepala sekolah tidak hanya berfikir untuk mendapatkan uang yang sebanyak banyaknya baik untuk kepentingan pribadi atau mengembalikan uang untuk pelicin ketika berebut jadi kepala sekolah.
h.    Memperketat pelaksanaan akreditasi sekolah. Jika perlu tim akreditasi/BAS/BASDA dapat mengusulkan untuk pembubaran atau memerger sekolah yang dianggap tidak sehat dan tidak mungkin lagi dilakukan pembinaan.
i.      Memberikan apresiasi kepada lembaga, sekolah, guru/instruktur, karyawan dan siswa yang menunjukkan prestasinya. Mungkin melalui bea siswa, kenaikan pangkat, pengangkatan jadi PNS, bahkan mungkin berupa tunjangan khusus. Pemberian bantuan peralatan, RKB, Rehab atau jenis bantuan lain yang menunjukkan bahwa mereka dapat bantuan karena berprestasi. Tidak seperti selama ini mohon maaf yang dekat ya dapat.  
j.      Memerketat dan lebih selektif pemberian ijin pendirian sekolah baru atau program keahlian baru agar tidak menambah deret hitung sekolah yang standar sarprasnya masih sangat jauh dari yang ditentukan yang sekaligus membatasi ruang gerak yang hanya berorientasi bisnis semata.  
k.    Memulai untuk membatasi sekolah yang masuk siang hari dengan  jalan member status akreditasi maksimal B untuk sekolah yang masuk siang hari, sekalipun berstatus giant school atau sekolah standart internasional. Tidak mungkin bisa efektif pembelajaran yang dilakukan di sore hari, baik yang disebabkan kondisi guru, cuaca, situasi dan lain sebagainya.
l.      Menyempurnakan kurikulum pendidikan agama yang tidak hanya berorientasi pada tata cara ibadah mahdloh akan tetapi lebih banyak mengacu pada ibadah sosial bagi peserta didik tingkat atas, dan kewarganegaraan yang bisa membentuk karakter siswa dan meningkatkan nasionalisme setiap peserta didik yang dapat menjadi bekal lulusan terjun di dunia kerja atau dimasyarakat. (terlampir kajian penulis).
m.  Menghapus kebijakan hasil UAN sebagai salah satu penentu kelulusan siswa.
n.    Memanfaatkan buku tulis yang beredar dipasaran sebagai media pembelajaran , misal cover depan dan belakang  atau beberapa lembar dimanfaatkan untuk  gambar para pahlawan dengan sedikit ceritanya, peta suatu daerah dengan segala macam potensinya, rumus-rumus matematika, fisika, bahasa inggris, dll.
o.    Mewajibkan adanya simbol merah putih bertulis pelajar Indonesia yang terpasang di lengan bahu kanan setiap pelajar Indonesia apapun jenis seragamnya.
p.    Menata kembali model penganggaran yang secara otomatis bisa mencegah sekurangnya menimalisir terjadinya pungli, korupsi, penyalahgunaan fungsi dan apapun jenisnya penyalahgunaan itu sehingga masyarakat tidak terbebani biaya pendidikan diluar kemampuan ekonominya dan penganggaran yang  cukup besar oleh pemerinta efektif dan efisien.
q.    Menentukan besaran biaya operasional yang benar-benar realistis pada masing-masing daerah dan menindak tegas bagi pelanggarnya.
r.     Remedial, tambahan pelajaran dan apapun namanya adalah merupakan tanggung jawab tenaga pendidik dan tidak diperbolehkan untuk dikomersilkan.
s.     Menghapus adanya mafia buku pelajaran, lembar kerja siswa dengan jalan menyediakan buku paket pelajaran oleh pemerintah pusat dan lembar kerja siswa disediakan oleh pemerintah propinsi atau kabupaten/kota.
t.      Menganggarkan biaya ujian nasional dan ujian sekolah yang tepat baik jumlah anggaran atau waktu pencairannya, sehingga sekolah tidak ada alasan lagi untuk memungut dari siswa yang biasanya memeng dipakai aji mumpung oleh para pengelolah sekolah, sehingga ada istilah HAJI SUEB atau HAJI SUSUK EBTA.
u.    Semua sekolah termasuk swasta harus bersedia melaporkan keuangannya dan bersedia diaudit pihak eksternal setiap akhir tahun pelajaran sebagai syarat lembaga/sekolah tersebut untuk menerima bantuan. Hal ini menghindari adanya sekolah digunakan sebagai ajang bisnis yang saat ini mulai menunjukkan tanda-tandanya.
v.    Mendirikan unit sekolah baru yang lebih terjangkau oleh masyarakat pedalaman.
w.  Membebaskan dunia pendidikan dari unsure politik.




PENUTUP

Sebagai penutup tulisan ini penulis bersyukur kehadlirat Allah SWT atas segala pemberian dan kasih saying-Nya sehingga dengan segala keterbatasan tulisan ini dapat terselesaikan. Walaupun secara kaidah tulisan kurang benar, bahasa yang digunakan kurang baik serta data dan referensi tidak terkutip secara baik bagai sebuah penelitian, namun isi dan kandungan tulisan ini sangat realistik  walaupun kadang sulit untuk dibuktikan. Untuk itu penulis tetap berharap agar tulisan ini banyak manfaatnya untuk perbaikan dunia pendidikan kita kedepan. Amin Ya Robbal Alamiin.