REVOLUSI DUNIA PENDIDIKAN KITA
(SEBUAH
KAJIAN)
Disajikan Kembali pada Hari Pendidikan Nasional 2014
Dikirim kembali
kepada Kemendikbud Republik Indonesia
KATA
PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirohiim.
Puji syukur kehadlirat Allah
Subhanahu Wata’ala, atas nikmat dan karuniaNya, sehingga penulis masih diberi
kesempatan untuk meluangkan waktu menyelesaikan kajian dalam bidang pendidikan,
walaupun mungkin masih jauh dari sempurna.
Hal ini merupakan bagian
dari tanggung jawab penulis selaku insan pendidikan dalam upaya ikut serta
mengupayakan terwujudnya tujuan pendidikan nasional Menyadari bahwa dalam
penulisan ini tidak lepas dari peran
serta berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini kami sampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Direktur
YPM Sepanjang dan teman-teman SMK YPM 8 Sidoarjo.
2. Pihak-pihak
yang telah membantu kami baik langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin
disebut satu per satu.
Sejelek apapun hasil kajian
ini, penulis tetap berharap dapat
digunakan sebagai masukan oleh Kementrian Pendidikan Nasional, paling tidak di
lingkungan Yayasan Pendidikan dan Sosial Ma’arif Sepanjang Sidoarjo, terlebih
seluruh Indonesia.
Akhirnya
penulis tetap berharap dan berdoa semoga tulisan ini ada guna dan manfaatnya
untuk kebaikan dunia pendidikan kita, bagai sebutir pasir yang ikut menopang
tegaknya gedung pencakar langit.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala
senantiasa memberikan pertolongannya pada kita semua, Amiin Yaa Robbal
‘Alamiin.
Sidoarjo, 01 Desember 2010
Penulis
Drs.
Kisyanto SM, SE, MM.
DAFTAR
ISI
Cover
Biodata
Penulis
Kata
Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Data dan Fakta
BAB II PEMBAHASAN
DAN ALTERNATIF YANG DITAWARKAN
1. Belum Optimalnya Pendidikan Kita
2. Tingginya Biaya Pendidikan
BAB III ALTERNATIF
PEMECAHAN MASALAH
PENUTUP
LAMPIRAN
1.
Menyoal
Laba Rugi Ujian Akhir Nasional
2.
Sang
Guru
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah merupakan salah satu pilar
pembangunan nasional, oleh karena itu sudah semestinya secara terus menerus
diupayakan peningkatan disegala aspek, baik dari segi kuantitas daya
tampung/pemerataan kesempatan pada semua warga negara untuk mendapat pendidikan
terlebih kualitas/mutu pendidikan, sehingga produk pendidikan diharapkan dapat
meningkatkan daya saing bangsa ini dengan bangsa lain didunia.
Mutu pendidikan yang dimaksud tidak hanya ditujukan
untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semata melainkan yang jauh
lebih penting adalah kualitas iman dan taqwa, budi pekerti yang luhur/ahlaq yang mulia, berkepribadian
dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, seperti yang sudah tertuang dalam Garis
Besar Haluan Negara.
Walaupun kita sudah sangat jauh tertinggal dengan
dunia-dunia lain, dengan berbagai daya dan upaya pemerintah berusaha untuk
mengejar ketertinggalan tersebut tanpa harus melupakan karakter bangsa
Indonesia yang agamis dan berkepribadian demi terwujudnya tujuan pendidikan
nasional. Berbagai kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah menunjukkan
keberpihakan pemerintah pada dunia pendidikan, mulai dari pengalokasian Anggaran
Belanja Negara/Daerah sebesar minimal 20%, dimasukkannya pendidikan sebagai
prioritas utama dalam program pembangunan mulai tingkat
pusat/propinsi/kabupaten/kota, bahkan
hampir setiap ada promosi pejabat (capres/cawapres, cagub/cawagub,
cabub/cawabub, caleg dan lain sebagainya) semua memakai pendidikan sebagai
jargon utama dalam kampanyenya. Hal ini membuktikan bahwa semua warga Negara
ini sadar akan pentingnya pendidikan dan merupakan kebutuhan pokok yang tidak
dapat dikesampingkan sama sekali.
Islam yang merupakan agama yang dianut oleh
mayoritas penduduk negeri ini sudah menuntun umatnya untuk selalu menuntut ilmu
mulai dari gendongan sang bunda sampai kembali keliang lahat/meninggal dunia,
bahkan Rosulullah Muhammad SAW. Memerintahkan kepada kita untuk mencari ilmu
sampai di negeri Cina. Begitu pentingnya Islam memandang ilmu pengetahuan
karena di hadist lain juga dikatakan : “barang
siapa menginginkan dunia capailah dengan ilmu, barang siapa menginginkan
akhirat capailah dengan ilmu dan barang siapa menginginkan keduanya capailah
dengan ilmu”.
Kaesar Jepang ketika selesai Perang Dunia II yang
negaranya telah dihancur leburkan dan luluh lantak oleh serangan bom atom
sekutu hanya bertanya “Berapa guru yang tersisa ?” kaisar
tidak bertanya berapa aset negara/kekayaan negara yang tersisa, karena kaesar
tahu persis bahwa dengan pendidikan Jepang akan dapat mengembalikan negaranya,
dan Jepang dapat membuktikan dalam waktu yang tidak terlalu lama Jepang mampu
merubah dirinya menjadi Negara maju, berkepribadian dan mampu mensejajarkan dirinya
dengan negara-negara maju lainnya bahkan mengungguli mereka.
Upaya-upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan
dinegeri ini memang sudah nampak, akan tetapi bukan berarti tidak ada kendala
yang dihadapi, masih diperlukan perjuangan panjang agar tujuan pendidikan
nasional benar-benar terwujud; kendala, hambatan, rintangan masih sangat banyak
kita jumpai, disamping permasalahan dan tantangan dunia pendidikan kedepan
tentunya bukan semakin kecil melainkan semakin kompleks, tidak cukup hanya
tersedianya alokasi yang besar untuk pendidikan akan tetapi yang jauh lebih
penting adalah komitmen bangsa ini untuk memajukan dunia pendidikan terutama
orang-orang yang secara langsung terkait dengan dunia pendidikan. Oleh
karenanya secara terus menerus harus dilakukan kajian-kajian oleh semua pihak
sebagai upaya perbaikan terhadap jalannya pendidikan dinegeri ini agar tujuan
luhur pendidikan nasional tidak hanya indah didengar akan tetapi benar-benar
menjadi kenyataan. Secara khusus memang hal tersebut merupakan tugas dan
tanggung jawab pemerintah, akan tetapi masyarakat/warga negara tidak bisa
tinggal diam, semua harus aktif melakukan pantauan, kajian dan memberikan
masukan kepada pemerintah, sekolah, terlebih masyarakat yang berhubungan
langsung dengan dunia pendidikan seperti : para pengelola lembaga pendidikan,
para pemerhati pendidikan, kepala sekolah, guru dan lain sebagainya.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang
sekaligus juga sebagai bagian dari dunia pendidikan penulis bermaksud
memberikan masukan dari kajian kritis yang telah penulis lakukan baik melalui
pengamatan langsung, tindakan langsung, pengalaman pribadi sebagai guru, kepala
sekolah dan ketua K3S SMK Swasta di kabupaten Sidoarjo, juga dari penelitian
yang pernah penulis lakukan, maka penulis bermaksud berbagi pengalaman kepada
bapak Menteri Pendidikan Nasional berupa
tulisan ini. Walaupun tulisan ini amat sangat sederhana dan kurang sistematis serta
jauh dari sempurna tetapi sangat realistis, penulis tetap berharap agar dapat
memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan pendidikan di negeri ini bagaikan
sebutir pasir yang dapat ikut menopang tegaknya gedung pencakar langit.
B.
DATA DAN FAKTA
Berdasarkan apa yang penulis ketahui, lakukan/alami,
dari hasil kajian, penelitian dan lain sebagainya ada beberapa data dan fakta
yang penulis paparkan disini, tentunya pada hal-hal yang bersifat distruktif
yang menjadi penghambat tercapainya tujuan pendidikan nasional, namun demikian
bukan berarti penulis menafikan adanya beberapa kebaikan yang sudah dicapai
oleh pemerintah, dengan harapan kondisi distruktif tersebut dapat menjadi
pijakan untuk lebih barhati-hati, lebih waspada dan lebih tepat sasaran dalam
melangkah kedepannya sehingga dapat lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas
pendidikan nasional dengan langkah yang efektif dan efisien. Orang bijak mengatakan
“kondisi negatif (menurut kita) jika kita
tidak su’udzon dan kita manaj dengan baik itu adalah merupakan awal prestasi” karena
kondisi negatif merupakan rangsangan kepada orang-orang untuk membuat, mencipta,
menentukan langkah kearah yang prestatif. Bukankah orang menciptakan deterjen
karena adanya pakaian kotor, orang membuat alarm pengaman karena adanya pencuri
dan lain sebagainya, karena Allah tidak akan pernah membuat sesuatu dengan
sia-sia.
Adapun
data dan fakta yang penulis kumpulkan/ketahui adalah sebagai berikut :
1.
Belum semua
warga negara Indonesia dapat menikmati pendidikan; baik dasar, menengah apalagi
pendidikan tinggi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : besarnya
biaya pendidikan walaupun pemerintah sudah mengucurkan dana yang cukup besar
namun masih terasa tidak berdampak pada besarnya biaya pendidikan yang harus
ditanggung oleh masyarakat, tempat sekolah yang jauh dari tempat tinggal. Hal ini
banyak dirasakan oleh warga pedalaman, rendahnya kesadaran belajar pada
sebagian masyarakat Indonesia, rendahnya daya dukung ekonomi terhadap biaya
pendidikan oleh sebagian besar warga negeri ini sehingga tidak sedikit yang
mengharuskan putra putrinya untuk bekerja usia dini untuk membantu ekonomi keluarga dan lain
sebagainya.
2.
Kesungguhan
pemerintah, pengelola pendidikan dan pelaksana pendidikan untuk pencapaian
tujuan pendidikan nasional secara utuh belum dirasakan. Penguatan masih
berorientasi pada pencapaian Iptek, sedangkan Imtaq dan pembentukan karakter bangsa
serta budi pekerti luhur belum mendapat porsi yang sama, hal ini dapat dilihat
dari muatan kurikulum nasional yang mengalokasikan pendidikan agama yang sangat
minim padahal kalau kita semua mau jujur karakter bangsa ini sangat ditentukan
dari kesadaran untuk beragama (contoh para pendiri negeri ini).
3.
Kualitas
pendidikan yang sudah dibangga-banggakan masih semu, fiktif dan penuh rekayasa.
Contoh : banyak siswa negeri ini yang menjadi juara ditingkat ASEAN, Asia
bahkan Dunia tapi kalau semua mau jujur itu bukan hasil pendidikan kita, akan
tetapi hasil binaan lembaga-lembaga yang bergerak dibidang itu. Contoh lain
yang lebih ekstrim UJIAN NASIONAL yang memakan dana trilyunan rupiah baik dana
dari pemerintah maupun bahkan yang lebih besar dana partisipasi masyarakat/wali
murid, menguras tenaga, pikiran bahkan ada yang menjadi taruhan jabatan itu
hanya tidak lebih pesta tahunan penghambur-hamburan uang dan penuh tipu daya
yang tidak menghasilkan sesuai dengan harapan yakni pengukuran terhadap
kemampuan lulusan, walaupun sulit untuk dibuktikan karena sudah ada kesepakatan
antar mereka tapi penulis haqqul yaqin
semua Kepala Daerah, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, semua guru dan
yang lebih parah lagi semua siswa dan orang tua siswa mengetahui kalau UN penuh
rekayasa, kecurangan, fiktif dan pembelajaran yang sangat-sangat negative pada
peserta didik, bahkan merupakan pembunuhan karakter dan kepribadian siswa. Kenapa
penulis berani mengatakan demikian ?,
alasan logika sederhana dan semua orang tahu yaitu setiap menjelang UN semua
sekolah mengadakan try out ada yang
dilaksanakan sendiri oleh pihak sekolah dan yang dilaksanakan oleh dinas
pendidikan dan semua mengetahui hasil try
out setiap kali digelar hasilnya tidak lebih dari 30% siswa yang lulus akan
tetapi ketika UN hanya kisaran 1% sampai 5% siswa yang tidak lulus, mengapa
bisa demikian ?, yang jelas UN telah penuh rekayasa, kebohongan, kecurangan,
dan lain sebagainya.
Ceritera
nyata: sekitar tahun 1996 ketika penulis aktif di bursa kerja sekolah yang
sekaligus menangani pemagangan siswa ke Jepang kerja sama dengan Departemen
Tenaga Kerja (saat itu), suatu saat DEPNAKERTRANS (sekarang) mengundang expert dari Jepang mengadakan
seminar tenaga kerja Indonesia, expert tersebut mengatakan kalau tenaga kerja
Indonesia sangat cerdas, dia mengambil contoh TKW yang hanya lulusan SD dalam
waktu yang relatif singkat sekitar 3 bulan dididik sudah mampu menguasai bahasa
Jepang atau Mandarin sesuai dengan bahasa negara tujuan sekaligus mereka juga
sudah menguasai keterampilan yang disaratkan, akan tetapi lanjutnya dari 1000
orang Indonesia untuk mencari orang yang jujur 10 saja sudah sulit. Saat
penulis bertanya kenapa hal tersebut terjadi ? dengan tegas dia menjawab
“Pendidikan di Indonesia mengajarkan hal itu” mulai anak-anak sudah diajarkan
tidak jujur”. Soal ulangan salah, soal
ulangan belum pernah diajarkan siswa dibilangi bonus dan tidak boleh
dikerjakan, dan lain sebagainya waktu itu yang dia sebutkan. Nah apalagi
sekarang karena alasan yang masuk akal yaitu Kepala Dinas takut dimutasi, Kepala
Sekolah takut dipecat karena sekolahnya tidak dapat murid efek dari banyaknya
siswa yang tidak lulus, Kepala sekolah takut sekolahnya dirusak, guru takut
dimarahi kepala sekolah, siswa takut tidak lulus dan lain sebagainya maka tanpa
menyadari efek psiklogi yang ditimbulkan dan hanya menuruti kepentingan sesaat
anak didik diajari untuk berlaku curang, yang paling ringan siswa dibiarkan
contohan, diatasnya itu menyiapkan siswa yang dipandang pinter didrill khusus untuk jadi joki dikelasnya,
diatas itu yang paling parah siswa diberi jawaban dari soal yang dikerjakan
oleh guru. Sejuta cara yang ada dibenak kepala sekolah dan guru untuk melakukan
kecurangan. Kalau sudah sedemikian parahnya apa UN harus dipertahankan?. Relakah
kita generasi penerus bangsa ini menjadi
generasi yang kehilangan karakternya, relakah kebutuhan akhirat kita tukar
hanya dengan kepentingan sesaat?. Jika pendiri negeri ini, bapak pendidikan
negeri ini, para pejuang pendidikan juga penggiat pendidikan di negeri ini jika
mengetahui kondisi pendidikan yang
sebenarnya pasti dan pasti menangis.
Ceritera
lain : ketika penulis masih aktif dibursa kerja sekolah penulis aktif datang
keperusahaan yang aktif merekrut siswa dimana penulis menjadi guru, setelah
penulis tanya kenapa kok senang merekrut alumni dari sekolah kami, rata-rata
dari mereka mengatakan karena lulusan kami anaknya jujur-jujur dan rasa tanggung jawabnya tinggi, karena
keterampilan itu mudah diajarkan lanjutnya.
4.
Pendidikan di
negeri ini masih kurang bisa menghargai potensi individu peserta didik,
sehingga pendidikan belum banyak bisa mengembangkan potensi, dan kepribadian
siswa secara optimal, hal ini secara sederhana dapat dilihat dari penentuan
lulusan yang pada akhirnya hanya ditentukan dari hasil UN yang masih sangat
subyektif (kondisi siswa saat ujian, situasi saat ujian, kondisi lingkungan,
kondisi sekolah, dan lain sebagainya).
Contoh
: Ada beberapa siswa yang tidak lulus UN karena yang bersangkutan tenaganya
diforsir untuk mengikuti turnamen sepak bola junior di kabupaten A karena siswa
tersebut sudah terekrut di liga junior dan telah dikontrak dengan sejumlah
bayaran yang jauh lebih besar ketimbang dia menjadi operator mesin bubut, siswa yang memang dicetak untuk kuat dan
matang di AUTO CAD karena potensinya dibidang itu bahkan yang bersangkutan masuk
lima besar tingkat jawa timur dalam lomba LKS dibidang AUTO CAD disamping
peluang kerjanya sangat banyak, akhirnya tidak lulus UN karena teori produktif
tidak lulus, bukankah dua contoh ini dan tentunya masih banyak lagi
kejadian-kejadian serupa menunjukkan betapa pendidikan kita sangat tidak
memihak pada potensi personal peserta didik.
5.
Walaupun secara
tertulis untuk menentukan kelulusan tidak hanya ditentukan dari nilai UN dan Ujian
Sekolah melainkan juga dari perilaku siswa, maka kenyataan yang ada hanya UN-lah
yang menjadi pertimbangan. Penulis berani mengatakan demikian karena jika perilaku
atau budi pekerti juga dipertimbangkan malah bisa dipastikan lebih dari separo
siswa akan tidak lulus, bukankah kecurangan telah dilakukan secara jama’ah yang
berarti dari aspek moral/aqhlaq dinyatakan tidak lulus yang berarti pula mereka
harus dinyatakan tidak lulus. Bahkan untuk mencapai hasil UN yang tinggi banyak
sekolah dalam proses belajar mengajarnya sangat berkecenderungan asal siswa dapat
mengerjakan soal-soal UN, sehingga tidak ubahnya lembaga kursus/bimbingan
belajar yang semakin melupakan filosofi dasar pendidikan.
6.
Biaya pendidikan
terlalu tinggi dibanding kemampuan kebanyakan masyarakat Indonesia hal ini
disebabkan disamping karena pemetaan kebutuhan pasar kerja yang tidak jelas
sehingga banyak aktifitas disekolah/pembelajaran di sekolah yang pada akhirnya
tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja juga banyaknya mata pelajaran yang
harus ditempuh oleh siswa yang menambah cost,
keinginan para pengelola lembaga pendidikan yang neko-neko/mengada-ada yang
akhirnya juga berkaitan dengan cost
contoh pemasangan AC di kelas, paving masih layak pakai diganti, penambahan
pelajaran disiang hari dengan mengurangi
jumlah jam dipagi hari sehingga terkesan
yang siang hari pelajaran tambahan dan
siswa diminta membayar sejumlah tertentu padahal itu masih merupakan jam wajib
mereka karena kepala sekolah memahami kalau di daerah tersebut sekolah tidak
diperkenankan menarik biaya apapun kepada siswa karena ada BOPDA maka dibuatlah
seperti itu sehingga terkesan sekolah menarik sejumlah uang untuk kepentingan
pelajaran tambahan , mafia buku dan LKS dan lain sebagainya yang ujung-ujungnya
duit, padahal pemerintah/daerah sudah berupaya semaksimal mungkin untuk
memberikan subsidi BOS, BOMM, BOPDA dan bentuk GRAND lainnya agar masyarakat
tidak banyak terbebani biaya pendidikan. Sehingga tidak salah kalau banyak yang
bilang masih enak jamannya Pak Harto sekolah biayanya murah karena kenyataannya
seperti itu.
Contoh : sebelum diluncurkannya BOS untuk pendidikan
dasar 9 tahun. Anak penulis masih duduk
dibangku kelas satu SMPN tiap bulan harus membayar SPP atau apa namanya sebesar Rp 22.500,- (dua puluh dua ribu lima ratus
rupiah) nah setelah naik kelas dua pemerintah meluncurkan program BOS waktu itu
BOM, menggunakan logika wajar tanpa ada BOS paling besar naik 10 % sampai 20 % kalau dibulatkan paling besar yang harus
dibayar anak saya di kelas dua logisnya Rp 27.500,- nah dengan adanya BOM yang
waktu itu Rp 27.500,- tiap siswa perbulan mestinya anak saya gratis tapi apa
yang terjadi anggaran sekolah dirubah sedemikian rupa akhirnya setiap siswa
harus membayar Rp 27.500,- tiap bulannya yang berarti sia-sialah bantuan
pemerintah tersebut.
Contoh
lain : di SMPN tertentu karena sudah ada BOS dan BOPDA maka sekolah negeri
tidak diperkenankan menarik siswa lagi, tidak kurang akal kepala sekolah
merencanakan sesuatu yang dapat dipakai alasan agar dapat menarik biaya pada
siswa, cara yang dipakai mengurangi jam pelajaran dijam sekolahnya biasanya
siswa pulang jam 13.00 WIB dengan 42 jampel tiap minggu dirubah pulang jam
11.30 WIB dengan 34 jampel tiap minggu, diluar jam sekolah ditambah materi UN
sebanyak 8 jampel/tiap minggu dan tiap siswa diminta membayar uang les sebesar
Rp 50.000,- tiap bulan, apakah ini tidak penipuan terhadap masyarakat.
Sekolah SMAN agar mendapat masukan keuangan
yang besar membuat kelas akselerasi dan membeban biaya yang cukup besar baik
pada APBD dan orang tua, SBI, dan apalah namanya semua intinya anggaran dan
anggaran, bukankah tugas sekolah, guru untuk mendidik siswa sehingga kemampuan
siswa menjadi tanggung jawabnya yang harus membebani biaya lagi pada mereka.
Sehingga tidak salah rasanya jika banyak orang, pengamat, pemerhati pendidikan
yang mengatakan pendidikan kita sekarang sudah mengarah kearah bisnis
pendidikan yang tidak jelas mutunya. Kalau disuruh memaparkan satu persatu
masih banyak sekali yang penulis dapat jelaskan secara langsung terjadinya
komersialisasi pendidikan di negeri ini.
7.
UAN masih sangat
dirasa pemborosan anggaran negara maupun biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat
(wali/orang tua murid), walaupun undaang-undang sudah mengamanatkan bahwa semua
biaya ujian ditanggung oleh pemerintah pusat dan daerah tetapi dalam
kenyataannya masyarakat masih harus menanggung kekurangannya dan jumlahnya
sangat besar, hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya :
a.
Terlalu
banyaknya birokrasi yang harus dilewati dan terlalu banyaknya pihak yang
terlibat dalam proses UAN sehingga menggelembungkan anggaran, padahal kalau mau
jujur ada dan tidaknya pengawasan pihak eksternal seperti kepolisian dan Tim
Pemantau Independen tidak bisa dijamin tidak adanya kecurangan pada pelaksanaan
UAN, bahkan justru menciptakan tekanan-tekanan psikologi pada semua pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan UAN sehingga banyak yang berfikir negatif untuk bisa
berbuat sesuatu pada para petugas tersebut dengan harapan bisa diajak kerja
sama misalnya dengan memberikan jamuan yang istimewa, memberikan tambahan
transport pada para petugas dan lain sebagainya yang ujung-ujungnya
membengkaknya anggaran UAN.
b.
Penganggaran UAN
oleh pemerintah dibuat tidak berdasarkan realitas kebutuhan yang ada dilapangan
sehingga sekolah penyelenggara maupun sub rayon masih harus menambah anggaran,
sehingga celah ini yang dimanfaatkan untuk memungut peserta ujian apapun namanya
pungutan itu, bagaimanapun caranya tapi hampir pasti sekolah memungut siswa
peserta ujian, ada yang harus menabung pada saat kelas akhir bersama SPP atau
iuran lain atau memungut tambahan biaya UAN sebelum pelaksanaan UAN.
Contoh
: anggaran untuk distribusi naskah soal, anggaran konsumsi pengawas dan
anggaran transport kehadiran pengawas sangat tidak sesuai dengan kelayakannya
dan lain sebagainya, sehingga sekolah harus menambah anggaran untuk keperluan
tersebut, padahal kalau para pembuat anggaran mau mengukur dengan dirinya
sendiri tentu tidak mungkin dia sendiri mau menerima diperlakukan seperti itu.
c.
Masih ada
anggaran yang harus dipertimbangkan lagi untuk menghemat anggaran UAN khususnya
untuk tingkat SLTA yaitu biaya pengadaan kaset untuk soal ujian Bahasa Inggris,
berapa banyak kaset yang tidak digunakan karena sekolah sudah menggunakan
pengeras suara secara sentral bahkan hampir tidak dijumpai sekolah diperkotaan
yang tidak secara sentral yang berarti hanya membutuhkan 2 (dua) kaset saja
termasuk cadangan, tentunya mulai pendataan peserta UAN juga dilakukan
pendataan kebutuhan kaset untuk masing-masing sekolah. Jika ini dilakukan maka
akan bisa dihemat biaya untuk pengadaan kaset dan dialokasikan kepada biaya
yang lain.
8.
Banyak
pengelolah pendidikan bahkan pemerintah yang menggunakan jargon peningkatan kualitas pendidikan
untuk keperluan mengeruk keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya, mereka biasanya
selalu mengkaitkan jika ingin berkualitas harus dengan uang, padahal kalau
difikir secara jernih bukan satu-satunya untuk meningkatkan kualitas dengan
uang, bukankah kita bisa melihat sendiri betapa mahalnya pendidikan kita
sekarang baik yang ditanggung oleh pemerintah maupun masyarakat, adakah
peningkatan yang signifikan kualitas lulusannya ? apakah tidak terbalik
kenyataannya dengan yang dahulu sebelum pemerintah mengalokasikan anggaran
sebesar minimal 20%. Dahulu para pengelola pendidikan, para kepala sekolah dan
para guru sangat-sangat kreatif untuk mengoptimalkan baik anggaran maupun
sumber daya yang ada, sangat menghargai sekecil apapun sumber daya yang ada,
sangat tinggi pengabdiannya, tidak berfikir
dapat imbalan apa atau berapa, kondisi semacam itulah justru yang dapat
menjadi contoh bagi anak didik untuk berbuat hemat, sederhana, kreatif, ulet dan
lain sebagainya. Nah kalau semua sudah dengan uang hilanglah semua
prinsip-prinsip dasar pendidikan di negeri ini, maka lahirlah dari pendidikan
ini generasi instan, tidak tahan uji, egois dan matrialistik.
9.
Kemauan kepala
sekolah dan guru untuk berbuat banyak dalam upaya peningkatan kualitas
pendidikan masih belum nampak bahkan kecenderungan mau berbuat hanya masih
lebih banyak dilandasi kepentingan sesaat seperti adanya iming-iming jabatan, tunjangan,
peningkatan honor, takut dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan adanya
tingkat motivasi berprestasi pimpinan sekolah, guru masih relatif rendah atau
dibawah standar yang disaratkan (hasil penelitian penulis terhadap guru dan
pimpinan sekolah di lingkungan Yayasan Pendidikan dan Sosial Ma’arif/YPM Sepanjang
Sidoarjo, yang diikuti oleh tingkat SD, SMP, SMA dan SMK) padahal YPM adalah
salah satu yayasan dibawah Ma’arif NU yang memiliki sekitar 36 sekolah dan
tergolong berkualitas dilingkungannya.
Dari
penelitian tersebut N-Ach (Need of
Achievement) rata – rata sebesar 1,8
(rendah), N-Ach adalah merupakan dorongan seseorang untuk berbuat kearah
prestatif, nah kalau gurunya saja tidak punya keinginan berprestasi terus bagaimana
dengan siswanya. Disisi lain dari analisa Tes AH Maslow kebutuhan fisiologi dasar
sangat mendominasi perolehan skornya, (fisiologi dasar = sandang, pangan, papan
dan sex), bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa para pimpinan sekolah dan
guru datang ke sekolah lebih banyak karena dorongan untuk memenuhi keinginan
fisiologi dasarnya ketimbang tujuan untuk mengajar/mendidik, itulah sebabnya
jutaan guru di Indonesia yang mayoritas sarjana belum nampak hasil-hasil
penelitiannya, karya tulisnya dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan
nasional, akan tetapi kalau untuk memenuhi persyaratan Sertifikasi dalam waktu
yang relatif singkat semua dapat dipenuhi.
10. Pungli, korupsi, manipulasi, penyalahgunaan fungsi
dan kekuasaan dan lain sebagainya masih amat sangat banyak, misal uang BOS, BOMM,
bantuan-bantuan yang mengakibatkan biaya sekolah makin tinggi dan membebani
masyarakat dan pemerintah. Hal ini bukan hanya dikarenakan adanya niat jelek
kepala sekolah semata, akan tetapi sistem yang selama ini diterapkan oleh
pemerintah dalam menyalurkan bantuan tersebut memberikan peluang yang sangat banyak
untuk berbuat penyalahgunaan bantuan tersebut, orang yang semula tidak punya
niatpun akhirnya harus berfikir untuk menyalahgunakannya walaupun bukan untuk
kepentingan pribadi.
Contoh
: tiap siswa SMK dapat BOMM untuk keperluan bahan praktek, karena cairnya dana
tersebut sekian bulan setelah siswa masuk sekolah maka sekolah sudah dapat
dipastikan telah menarik sejumlah uang kepada para siswa karena sekolah sudah
harus melaksanakan praktek akhirnya apa yang diharapkan pemerintah mengurangi
beban masyarakat akan tetapi pada prakteknya tetap saja masyarakat menanggung
beban tersebut. Atau kalau sekolah tidak
berani memungut dari siswa berarti sekitar 2 (dua) bulan siswa tidak
melaksanakan praktek.
Contoh
lain masih dalam kasus BOMM, karena bantuan BOMM besarnya bantuan disama
ratakan, maka yang terjadi dilapangan untuk program keahlian tertentu amat
berlebihan (akutansi, perkantoran dan lain-lain yang sejenisnya), tetapi pada
program keahlian yang lain ada yang jauh tidak mencukupi (tata boga, tata
busana, pemesinan dan lain sebagainya). Hal inilah yang akhirnya timbul
rekayasa untuk menghabiskan anggaran atau menarik pungutan tambahan pada siswa,
jika penganggaran didasarkan pendekatan kebutuhan yang obyektif tentu hal-hal
negatif bisa kita perkecil walaupun memang membutuhkan kerja ekstra. Dari dua
contoh diatas urusan BOMM bisa dipastikan telah terjadi manipulasi baik
penggunaan keuangan yang mungkin kurang pas dengan sasaran atau yang pasti
manipulasi pelaporannya walaupun tidak terjadi korupsi didalamnya. Hal ini adalah pembelajaran yang tidak terasa yang
akhirnya kita biasa berperilaku menyalahi aturan.
Contoh
lain : BKSM untuk siswa miskin dikeluarkan jauh setelah siswa masuk sekolah
bahkan ada yang siswa sampai sudah lulus (periode Januari-Juni) terus
dikemanakan uangnya? kalau sekolah diminta meminjami terlebih dahulu apa ada
jaminan dipastikan dana tersebut cair ? jika memang cair apa jumlah siswa yang
menerima sama ? karena ada beberapa sekolah yang mengeluh pada penulis harus meminjami
sekian puluh juta karena jatah BKSM yang sudah di SK-kan pada siswa akhirnya
hilang lebih dari 50% padahal siswa sudah terlanjur lulus dan tidak dibayar penuh
karena sudah dipotong BKSM dan ini terjadi hampir pada semua sekolah yang dapat
BKSM dari APBN, hal-hal yang demikian ini yang memberikan peluang orang berbuat
korupsi dan sejenisnya.
11. Banyak sekolah yang sarana dan prasarananya termasuk
para pengajarnya sangat tidak memenuhi standart minimal yang telah ditentukan,
hal ini banyak disebabkan banyaknya bermunculan sekolah baru yang diberi ijin
oleh dinas yang berwenang tanpa kajian yang mendalam seperti standar kelayakan yang harus dipenuhi,
sekolah sekitar yang sudah ada sudah terpenuhi jumlah siswanya atau belum,
butuh tidak daerah tersebut untuk ditambah sekolah dan lain sebagainya, bahkan
tidak hanya swasta saja yang seperti itu pemerintah pun juga membangun sekolah
baru yang akhirnya membunuh sekolah lama yang belum sempat sehat. Kalau mau
jujur semua itu ujung-ujungnya pasti duit. Penulis dapat mengatakan demikian karena
studi kelayakan yang menjadi persyaratan pendirian dan penambahan program studi
baru kalau untuk SMK sangat tidak diperhatikan yang penting ada duit pasti
direkomendasi. Hal ini akan menambah deretan sekolah yang tidak sehat juga
menambah deretan sekolah yang amat sangat kurang sarana dan prasarananya yang
pada akhirnya akan menjadi beban negara untuk memenuhinya kalau tidak ingin
kualitas lulusannya rendah. Keadaan demikian ini semakin banyak terjadi karena
banyaknya bermunculan yayasan-yayasan baru yang tidak jelas komitmennya
dibidang pendidikan bahkan menjadi trend jadi lahan bisnis pengelolanya.
12. Kualitas pendidik yang masih dibawah standar, hal
ini banyak disebabkan peninggalan rekruitmen tenaga pendidik yang KKN tanpa
memperhatikan kompetensinya, baik kompetensi pedagogic, akademik, sosial maupun
kepribadiannya. Sertifikasi yang
diharapkan menjadi pendorong untuk peningkatan kualitas guru hanya formalitas
saja bahkan mulai proses penjaringan data dan persyaratan sudah banyak yang palsu
setidaknya aspal, pelatihan bagi peserta yang tidak lulus sertifikasi juga
berjalan sebagai formalitas belaka. Hal ini bisa dilihat efek positif dari
tunjangan sertifikasi yang jumlahnya amat sangat banyak tidak berbanding lurus
dengan peningkatan kinerja penerimanya.
13. Masih banyak dijumpai kegiatan peningkatan kualitas
baik untuk kepala sekolah, kepala program,wakil kepala sekolah, petugas laboratorium,
guru dan lain sebagainya yang hanya asal ada atau kurang serius, hanya
menghabiskan anggaran belaka, sehingga besarnya anggaran yang telah
dialokasikan tidak banyak menghasilkan perubahan yang signifikan bahkan
terkesan tidak ada perubahan sama sekali.
14. Masih banyaknya sekolah yang masuk disiang hari, apapun
alasannya mungkin tidak memiliki ruang kelas yang mencukupi atau yang sekarang
lebih ngetrend dengan giant school
dan lain sebagainya, disamping jumlah jam efektifnya untuk sekolah masuk siang terbatas
juga biasanya para pengajarnya sudah kelelahan, situasi di sekolah tidak
senyaman ketika pagi hari sehingga bisa dipastikan KBM tidak dapat berjalan
optimal hasilnyapun dapat dipastikan kualitas lulusannya akan lebih rendah
dibanding yang masuk pagi hari.
15. Masih amat sangat banyak guru yang mengajar dibeberapa
sekolah , jam mengajarnya relatif sangat banyak , disamping terlalu capek juga
tidak ada waktu untuk meningkatkan
kualitas pribadinya juga tidak jarang siswa hanya diberi tugas mencatat, mengerjakan
soal yang tidak pernah dikoreksi apalagi dibahas yang kita dapat membayangkan
bagaimana hasil yang akan diperoleh dari proses belajar mengajar semacam itu.
16. Masih banyak guru/tenaga pendidik yang suka datang
terlambat, terlambat masuk kelas, bolos, menyuruh siswa mencatatkan pelajaran
dipapan tulis dia sendiri santai, baca koran atau omong-omong dengan guru lain.
Memberikan tugas pada siswa tetapi tidak dikoreksi apalagi dibahas dan yang
lebih umum lagi datang mengajar setelah selesai lalu pulang.
17. Situasi umum di negeri ini kurang mendukung terhadap
dunia pendidikan, situasi politik misalnya , banyak Kepala Dinas Pendidikan
atau sekretarisnya yang bukan dari orang yang memahami dunia pendidikan karena
hal tersebut sekarang sudah masuk rana politik. Acara telivisi yang mampu
menarik perhatian para pelajar sehingga melupakan belajarnya, dan lain
sebagainya.
18. Tidak adanya jaminan bagi anak bangsa ini untuk
menempati kerja yang layak walaupun mereka berprestasi di sekolahnya, karena
masih berlakunya KKN disetiap rekruitmen pegawai baik negeri sipil, tentara
maupun swasta, hal ini sangat mempengaruhi motivasi belajar siswa di sekolah.
19. Tidak adanya reward
bagi sekolah yang benar-benar serius, prestasi, menunjukan adanya peningkatan dalam berbagai aspek sekaligus
punishment bagi sekolah yang semakin
tidak karuan stagnan dsb.
BAB
II
PEMBAHASAN
DAN ALTERNATIF YANG DITAWARKAN
Dari gambaran latar
belakang masalah dan data serta fakta yang telah penulis paparkan diatas, menunjukkan
betapa rumitnya permasalahan yang menyelimuti dunia pendidikan kita, bak mengurai benang
kusut tentulah harus terlebih dahulu diketahui ujung pangkalnya, hal ini
disamping agar bisa segera terurai dan terselesaikan juga agar tidak menambah
permasalahan baru yang justru menambah keruwetan yang sudah ada. Contoh dahulu
sebelum diluncurkannya program pemerintah yang bernama tunjangan profesi
pendidik, mungkin banyak orang berfikir bahwa dengan diberinya tambahan
kesejahteraan bagi guru akan bisa meningkatkan kualitas pribadinya, menambah
ilmu pengetahuannya, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas pendidikan
nasional.
Namun apa yang
terjadi, walaupun banyak yang mengatakan masih butuh waktu untuk melihat hasil
dari program tersebut, penulis justru menganggap program tersebut hanya
menambah beban disemua aspek dan banyak ekses negatif yang ditimbulkan, berikut
ini contoh-contoh ekses yang telah dirasakan dari program tunjangan profesi
pendidik yang lebih dikenal dengan tunjangan sertifikasi :
a.
Karena
guru yang telah mendapatkan tunjangan sertifikasi tidak menunjukkan adanya perubahan
yang mengarah kepada guru profesional sesuai dengan sertifikat yang
disandangnya, maka banyak dipakai acuan guru lain yang belum mendapat tunjangan
sertifikasi berbuat seenaknya dengan
alasan belum mendapat tunjangan sertifikasi (wong yang sudah dapat ya begitu
saya begini kan sudah baik).
b.
Terjadinya
peluang KKN baru yang sebelumnya tidak pernah dijumpai, mulai dari penentuan
calon peserta sertifikasi, jual beli sertifikat, jual beli karya tulis, sertifikat
aspal, seminar pendidikan yang aspal, diklat yang aspal dan lain sebagainya,
yang disadari atau tidak ini akan mendidik para guru kita untuk berbuat KKN,
berlaku tidak jujur dan penuh kepura-puraan yang semua akan merusak dunia
pendidikan kita.
c.
Terjadinya
perubahan pola hidup dan perilaku guru karena adanya perubahan pendapatan yang
amat menyolok yang cenderung menuju kurang baik bagi kehidupan seorang guru
yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi siswa dan masyarakat
dilingkungannya, seperti kehidupan yang glamour perilaku aneh-aneh dari orang
kaya baru dan lain sebagainya, yang semuanya berpengaruh negatif terhadap pola
kerjanya.
d.
Disadari
atau tidak program sertifikasi tersebut telah banyak mengarahkan guru kearah
materialistis dan menghilangkan pengabdian seorang guru sebagai bekal di akhirat
kelak seperti yang dahulu telah dicontohkan oleh pelopor, perintis pendidikan
juga oleh guru-guru tempo dulu yang begitu sederhana dan bersahaja tetapi penuh
dengan keihlasannya, sehingga doanya begitu makbul untuk para siswanya, kehidupannya
sendiri damai, tentram, terpandang dan jadi panutan di masyarakat. Sebagai
seorang yang beragama semua dari kita pasti percaya bahwa dalam mendidik dan
mencerdaskan kehidupan bangsa ini bukan hanya dengan ilmu pengetahuan,
keterampilan dan metode pembelajaran yang handal serta lengkapnya sarana
prasarana, akan tetapi keteladanan, keikhlasan dan doa guru juga amat sangat
berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pendidikan secara utuh.
e.
Begitu
menggiurkannya program sertifikasi untuk guru dan tunjangan jenis lainnya,
sekarang profesi guru banyak menjadi alternatif terbaik untuk mengais rejeki,
sehingga banyak yang jauh dari kelayakan dimasukkan jadi guru, kuliah asal
dapat ijasah jadi guru, anak-anaknya, kerabat, teman pengurus yayasan jadi guru
dan sarat dengan KKN sehingga lebih memperparah keadaaan didunia pendidikan
kita. Bahkan yang lebih parah lagi itu lebih banyak terjadi ditingkat dasar
atau paud, yang merupakan dasar dari pendidikan selanjutnya.
f.
Hari-hari
banyak guru yang disibukkan dengan urusan sertifikasi, persiapan sertifikasi, seminar
sana seminar sini, urusan impasing, ngerumpi membahas cairnya dana sertifikasi,
meninggalkan siswa tandatangan realisasi, rekreasi, makan-makan syukuran dana
sertifikasi cair dan lain sebagainya yang kalau kita cermat semua merugikan
dunia pendidikan kita.
Dengan adanya program sertifikasi ini memang tidak
banyak lagi kita dengan guru sambil jadi tukang ojek, guru sambil jadi kuli
panggul dan sejenisnya walaupun pekerjaan semacam itu adalah mulya, tapi
sekarang mulai kita dengar guru suka keliaran di mall, guru punya istri
simpanan dan lain sebagainya, sehingga tunjangan profesi dan tunjangan lain bukan
mengurangi permasalah yang ada didunia pendidikan malah menambah rumitnya
masalah yang ada, kecuali hanya kesejahteraan yang bertambah. Penulis pribadi
sangat senang dengan program tersebut karena penulis juga menikmatinya, akan
tetapi alangkah indahnya jika program tersebut sekaligus dipakai untuk
pemetakan kemampuan dan kelayakan seorang guru, mestinya sertifikat pendidik hanya
diberikan kepada mereka yang benar-benar professional sekaligus sebagai reward, seperti yang sudah diterapkan
dibeberapa perusahaan asing dan perusahaan penerbangan. Kalau toh untuk
perbaikan taraf hidup guru masak harus sebesar itu ?.
Contoh diatas adalah satu contoh dari sekian
permasalahan baru yang timbul akibat ekses dari adanya program yang niatannya
baik tapi mungkin karena kesiapannya kurang, atau salah menganalisa maka
hasilnya kurang tepat sasaran bahkan cenderung berekses negatif. Penulis yakin
bahwa program sertifikasi bukan murni dari keinginan guru, mungkin program
tersebut timbul dari orang-orang yang ingin menghargai guru atau mungkin juga
program strategis yang mengandung unsur politis sehingga menurut penulis
program tersebut masih harus dikaji lagi lebih dalam agar lebih tepat sasaran
dan tidak berdampak negatif terhadap perkembangan pendidikan nasional.
Untuk mengurai segala permasalahan yang ada didunia
pendidikan kita saat ini penulis mencoba membagi sekian banyak permasalahan
yang ada dalam dua permasalah utama yakni : belum optimalnya mutu lulusan dan
biaya pendidikan relative sangat tinggi.
1.
Belum optimalnya mutu pendidikan
kita
Seperti
kita ketahui bersama tujuan yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan
nasional kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dari semua aspek yang
hendak dicapai pada tujuan pendidikan nasional tersebut rasanya hampir semua
aspek belum dapat dicapai secara maksimal (walaupun secara fakta tingkat
kelulusan secara nasional diatas 95%), baik dari aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, aspek
penguasaan keterampilan, aspek moral dan aspek kepribadian. Dalam menghasilkan
lulusan yang berkualitas sangat ditentukan dari faktor manusianya (pimpinan sekolah, tenaga pendidik
serta tenaga kependidikan lainya), kurikulum dan sarana prasarana. Dari ketiga
faktor penentu tersebut faktor manusianyalah yang paling menentukan dan
memegang peranan paling penting walaupun faktor yang lain tidak bisa kita
anggap remeh. Seberapapun lengkapnya sarana dan prasarana yang ada sempurnanya
kurikulum yang dibuat tetap saja masih sangat tergantung dari manusianya yang
menjalankan, begitu pula sebaliknya banyak membuktikan kepada kita ditangan
pimpinan sekolah, guru dan tenaga kependidikan yang kreatif, inovatif dan
mempunyai keinginan yang kuat untuk maju dan berprestasi, maka sarana dan
prasarana yang serba kekurangan sekalipun tetap bisa dioptimalkan dan tidak
mengurangi mutu dalam proses pembelajarannya.
Jika
kurikulum selalu dilakukan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan jaman namun
hasil yang dicapai tidak lebih baik dari pelaksanaan kurikulum sebelumnya,
sarana prasarana sekolah yang ada saat ini jauh lebih mendekati standar minimal
sarpras, dukungan anggaran dari pemerintah dan masyarakat jauh lebih tinggi
dari tahun-tahun sebelumnya, namun mutu lulusan yang dihasilkan cenderung tidak
lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, maka penulis lebih yakin kalau
rendahnya mutu pendidikan kita saat ini lebih banyak disebabkan oleh faktor
manusianya, menggunakan istilah yang
dipakai oleh Johanes Surya “tidak ada
murid bodoh yang ada adalah murid yang belum mendapatkan guru yang baik”, karena guru adalah motivator
bagi siswa, guru adalah sumber dan teman belajar, guru adalah penyebar virus
N-Ach, guru adalah pembimbing kemajuan dan kematangan berfikir siswa.
Ada
beberapa hal menurut penulis yang menyebabkan rendahnya kualitas guru ,pimpinan sekolah dan tenaga kependidikan
lainnya diantaranya :
a.
Kompetensinya
rendah, Seperti kita ketahui bersama
bahwa seorang guru dikatakan professional atau layak menyandang jabatan sebagai
profesi guru harus memiliki prinsip profesionalitas dan memiliki
sekurang-kurangnya empat kompetensi guru. Berdasarkan UU RI no.14 th 2005 bab III pasal 7 ayat
(1) disamping mempunyai hak guru/dosen harus :
(1)
Memiliki
bakat, minat, panggilan jiwa dan idialisme.
(2)
Memiliki
komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak
mulia.
(3)
Memiliki
kualifikasi akademik dan latar pendidikan sesuai dengan bidaang tugas,
(4)
Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugas,
(5)
Memiliki
tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
Kompetensi
yang dimaksud pada ayat diatas adalah sesuai dengan UU RI no 14 th 2005 bab IV
pasal 10 ayat (1), kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional.
Sejauh
ini yang bisa kita lihat sehari-hari di lapangan masih banyak kita jumpai
guru-guru kita yang masih jauh dari kreteria profesinalitas seorang guru,
hampir dari semua unsur profesinalitas
belum terpenuhi, saat ini kualifikasi
akademik hanya dilihat dari ijasah yang disandangnya, padahal kalau kita semua
mau jujur hal itu tidak bisa menjamin akan kemampuan akademis yang
bersangkutan. Walaupun tidak dirilis dalam sebuah jurnal khusus hasil tes para
guru bidang studi UN menunjukkan perolehan nilai para guru peserta tes
mayoritas dibawa angka 50 padahal soal tes yang dipakai menggunakan kisi-kisi
UN (penjelasan dari petugas PPG Jawa Timur di Surabaya), rendahnya kemampuan
akademis kebanyakan guru-guru kita ini bisa disebabkan karena tingkat
kecerdasannya rendah, yang seharusnya yang bersangkutan tidak berkelayakan
sampai lulus sarjana, atau pada saat belajar/kuliah yang bersangkuatan tidak
sungguh-sungguh, contek sana contek sini saat ujian, copy sana copy sini saat
mengerjakan tugas atau karena standar
kelulusan tempat dia belajar sangat longgar sehingga ijasah yang disandangnya
tidak menunjukkan kemampuan akademisnya. Seharusnya orang-orang yang kemampuan
akademisnya rendah seperti itu tidak bisa diterima dimanapun untuk mengisi lowongan
sebagai guru, yang bersangkutan bisa diterima
sebagai guru bukan karena kemampuan akademisnya, akan tetapi karena faktor lain
mungkin adanya jalur khusus, mungkin KKN, mungkin karena hubungan dekat, keluarga,
teman atau mungkin juga dengan memberikan sesuatu atau mungkin tidak ada
pilihan lain. Hal ini tidak hanya terjadi saat rekruitmen tenaga pendidik,
pemilihan pimpinan sekolah, tenaga kependidikan lainya yang berstatus PNS saja,
akan tetapi juga demikian dibanyak sekolah swata yang diangkat oleh yayasan
justru lebih parah.
Seharusnya untuk rekruitmen guru
standar tes yang digunakan harus lebih menyeluruh, disamping tes potensi
akademik, tes keahlian, tes kepribadian, pengetahuan umum, social dan
psychology. Guru adalah karyawan/tenaga kerja, akan tetapi guru
bukan karyawan biasa yang hanya membutuhkan beberapa persaratan dasar, guru
adalah karyawan plus-plus, guru adalah manusia setengah dewa yang dituntut untuk dapat menstransfer ilmu, mendidik, memotivasi, merobah perilaku, kepribadian
dan moral siswa.
Disamping
harus memiliki dasar pengetahuan dan keterampilan, profesi guru masih juga dituntut
segudang prasarat lain seperti yang berlaku pada karyawan/tenaga kerja lain
walaupun mungkin prasyarat tersebut secara eksplisit belum tertulis dalam
standart kompetensi guru.
Mengacu
pada standar kelayakan tenaga kerja menurut ILO seorang tenaga kerja dikatakan
kompeten jika memiliki empat kompetensi yang meliputi :
(1)
Kompetensi
kepribadian, yang meliputi :
-
Portur
tubuh yang ideal (sehat jasmani dan rohani )
-
Disiplin,
tanggung jawab, jujur, kreatif dan inovatif
-
Sikap
dan etika terpuji
-
Kemampuan
belajar materi baru
-
Keinginan
berprestasi yang tinggi
-
Fleksibel
dan kedewasaan
-
Kepercayaan
diri
-
Ketertarikan
dan komitmen pada pekerjaan.
(2)
Kompetensi
keterampilan, meliputi kemempuan :
-
Mengenal,
mempelajari dan menerapkan teknologi baru
-
Merumuskan
dan menetapkan tujuan yang tepat
-
Melaksanakan
pekerjaan dengan benar
-
Menggunakan
peralatan kerja dengan benar
-
Mengoperasionalkan
teknologi informasi
(3)
Kompetensi
metodik, meliputi kemampuan :
-
Bekerja
secara sistematik
-
Menghimpun
dan mengevaluasi informasi
-
Memecahkan
masalah
(4)
Kompetensi
sosial, meliputi kemampuan :
-
Berkomunikasi
dengan baik
-
Bekerjasama
dengan tim
-
Menerima
dan mengembangkan gagasan baru
-
Ber-organisasi
dan memimpin
-
Bertanya dan menjawab
Kalau
kita cermati standar kelayakan tenaga kerja yang dikeluarkan ILO tersebut
semuanya wajib dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya, setidak-tidaknya
hal tersebut akan dapat membantu guru untuk merubah kepribadian dan
meningkatkan kompetensi siswa kearah standar kompetensi diatas. Sebuah
pertanyaan sederhana yang kita semua sudah mengetahui jawabannya bagaimana
dengan guru yang tidak memiliki kompetensi diatas ? apakah siswa yang
dihasilkan dapat kompeten ?
Demikian
juga dengan prinsip-prinsip keprofesionalan yang lain dan kompetensi yang lain,
semua masih patut dipertanyakan, hal ini disebabkan pada saat rekruitmen hal-hal tersebut tidak diujikan , soal ujian
guru PNS tidak bedanya dengan PNS yang lain terlebih untuk guru swasta tidak
semua sekolah bahkan mungkin mayoritas tidak menggunakan tes dalam merekrut
guru.
Kalau
mau dihitung jumlah tenaga pendidik atau tenaga kependidikan lain yang kondisinya
seperti itu jumlahnya sangat banyak.
b.
Need
of achievement rendah.
Mungkin secara akademis yang bersangkutan memenuhi standart kelayakan akan
tetapi dalam menjalankan tugasnya hanya memenuhi kewajiban pokoknya saja tanpa
mempunyai standar lebih, tidak mempunyai keinginan untuk meningkatkan kualitas
diri dan profesinya.
Orang
yang mempunyai keinginan berprestasi yang tinggi menurut DEPNAKER sekarang
DEPNAKERTRANS biasanya memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
(1)
Suka
memikul tanggung jawab pribadi dalam memecahkan persoalan,
(2)
Cenderung
mengambil tantangan (resiko sedang/dipertimbangkan),
(3)
Selalu
menggunakan umpan balik (feed back) untuk menilai sebaik mana ia sudah bekerja,
(4)
Merasa
dikejar-kejar waktu (sangat menghargai waktu),
(5)
Mengerjakan
sesuatu dengan kreatif dan inovatif
(6)
Menyukai
situasi yang serba mungkin,
(7)
Berinisiatif
dan suka menyelidiki serta mempelajari lingkungan (peka terhadap lingkungan),
(8)
Lebih
menyukai kegiatan untuk mendapatkan keahlian.
Guru
merupakan penyebar virus Need of
Achievement pada siswa, sebagai penyebar virus haruslah terlebih dahulu
memiliki virus itu sendiri, kita tidak bisa berharap banya siswa akan terkena
virus N-Ach manakala gurunya saja tidak memilikinya. Secara ekstrim ditangan
gurulah perubahan siswa digantungkan, bukan mustahil siswa yang berpotensi akan
menjadi lemah ketika mendapatkan guru yang N-Ach nya rendah, begitu pula
sebaliknya. Itulah mungkin yang dikatakan oleh Prof. Johanes Surya bahwa
sebenarnya tidak ada siswa yang bodoh tetapi yang ada siswa yang belum mendapat
kesempatan dapat guru yang baik, guru yang keinginan berprestasinya tinggi.
Orang yang N-Ach nya tinggi tidak
tergantung hanya pada fasilitas, tidak mau berhenti berbuat kebaikan, tidak mau
menyia-nyiakan waktu, tidak pernah terbersit dihatinya kata tidak mungkin, tidak
bisa atau terlalu banyak alasan akan tetapi rasa optimislah yang selalu
menempati di lubuk hatinya.
Tidak
berlebihan kiranya kalau Henry Ford pernah mengatakan “Ambillah semua harta kekayaanku,
semua asset-asetku, tetapi jangan kamu ambil orang-orangku, maka akan kubangun
kembali companyku”. orang yang dimaksud ford tersebut tentulah
orang-orang pilihan, kompeten dibidangnya dan memiliki N-Ach yang tinggi.
Mereka adalah asset yang sangat berharga lebih berharga dibanding harta kekayaan
perusahaan dan asset yang lain, hal ini telah terbukti ford telah mampu membangun
company dan merajai industri permobilan di Amerika. Orang seperti itulah yang
dimaksud oleh sang kaisar Jepang, orang seperti itulah yang pantas sertifikat
tenaga pendidik professional, pantas mendapat tunjangan sertifikasi dan orang
semacam itulah yang pantas digugu dan ditiru dan pantas menyandang gelar
kehormatan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA.
Dari
data hasil penelitian penulis terhadap sekitar 500 orang guru baik yang
berstatus pegawai negeri sipil, guru tetap Yayasan dan guru tidak tetap, mulai
dari tingkat dasar sampai tingkat atas terhadap motivasi berprestasinya
menunjukkan hasil 96% peserta tes menunjukkan motivasi berprestasinya rendah,
4% sedang dan yang tinggi 0%.
c.
Guru
bukan pekerjaan yang membanggakan. Sejarah masa lalu banyak masyarakat,
orang tua atau yang bersangkutan menganggap menjadi guru adalah pekerjaan yang
tidak dapat dibanggakan, bahkan masih banyak yang menganggap guru sebagai
pekerjaan pilihan yang terakhir setelah pekerjaan lain tidak didapatkan. Sehingga
mulai pilihan saat kuliah pilihan untuk masuk ke perguruan tinggi keguruan juga
pilihan terakhir, yang kenyataannya lulusan SLTA yang pandai hampir dipastikan
tidak ada yang masuk keguruan, ini berarti memang yang kuliah ke ilmu keguruan
adalah dari kalangan lapis 3 atau empat bahkan dari lapis bawah yang biasanya
masuk di perguruan tinggi ilmu keguruan swasta.
Karena
tidak adanya rasa bangga menjadi guru inilah sehingga tidak timbul rasa ingin
berbuat optimal, tidak ingin memperdalam ilmunya, tidak ingin berbuat lebih
baik, banyak yang dalam menjalankan
tugas asal-asalan.
d.
Akibat
rekruitmen yang berbau KKN.
Apapun jenis, macam dan caranya rekruitmen guru yang berbau KKN didalamnya, baik
untuk guru PNS maupun guru yayasan, sangat berdampak negatif terhadap dunia
pendidikan kita, hal ini disebabkan rekruitmen semacam itu biasanya tidak
memperhatikan standar kelayakan yang telah ditentukan. Guru, tenaga
kependidikan lain yang diperoleh dari cara seperti itu kalau kita telusuri
secara jujur jumlahnya amat banyaknya dan segala permasalahan di dunia
pendidikan kita yang menjadi pekerjaan rumah kita semua saat ini termasuk juga
permasalahan rendahnya kualitas lulusan, rendahnya kualitas sebagian besar
guru-guru, mahalnya biaya pendidikan di neger ini biang keroknya adalah akibat
adanya KKN.
e.
Banyaknya
guru instant. Guru instant biasanya juga kuliahnya
instan, Akta IV instan, persiapan mengajar instan dan semua serba instan.
Mereka hanya sekedar memenuhi persyaratan administrasi, sekedar memiliki gelar
sarjana, sekedar mengajar tidak pernah mendidik, hanya memikirkan dirinya
sendiri tanpa peduli akan merugikan orang lain, mereka hanya mengejar gaji
bukan prestasi.
f.
Hanya
cari uang atau status atau sambilan. Mereka bekerja bukan atas dasar
pengabdian melainkan tidak lebih hanya sekedar cari uang bahkan mungkin
sambilan, mereka tidak sadar bahwa dipundaknya ada tanggung jawab besar untuk
masa depan anak bangsa, mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan kelak akan
dipertanggungjawabkan. Akibat dari
adanya guru yang seperti itu, maka rasa tanggungjawab dan komitmen untuk
mengembangkan pendidikan dimana yang bersangkutan menjadi guru sangat
dipertanyakan, guru seperti itu melaksanakan tugas pokok saja sudah luar biasa.
Dari hasil penelitian penulis yang dilakukan sekitar 500 orang guru pada
kesempatan yang sama dengan penelitian diatas terhadap perioritas kebutuhannya
menunjukkan hanya 2,5% yang menunjukkan kebutuhan aktualisasi diri, 72%
fisiologi dasar dan sisanya kebutuhan yang lain yaitu social, rasa aman dan
penghargaan.
g. Standar baku untuk rekruitmen
guru dan tendik yang lain belum pas.
Pola
rekruitmen guru atau tenaga kependidikan belum punya standar baku yang mampu
memberi cermin utuh terhadap calon, baik cermin kemampuan akademisnya,
kepribadiannya, sosialnya terutama psikologinya. Tes-tes yang selama ini
dilakukan untuk rekruitmen tenaga pendidik atau tenaga kependidikan masih sama
dengan rekruitmen PNS yang lain terlebih lagi untuk yang bukan berstatus PNS.
h.
Sangsi
dan penghargaan belum dilaksanakan. Kurang tegasnya sangsi bagi guru
yang tidak mampu memenuhi kreteria adalah juga dapat merupakan faktor yang
menjadikan guru tidak terpacu untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan
tuntutan profesinya, bahkan ada kecenderungan tidak adanya evaluasi yang oleh
fihak yang berwenang terhadap kinerja dan kompetensi guru, sehingga apapun
kondisinya mereka tetap mendapatkan hak yang sama. Begitu juga bagi mereka yang
sungguh-sungguh dan menunjukkan prestasi kerjanya tidak jelas rewardnya, hal ini akan memicu
terjadinya apatisme, bekerja ala kadarnya dan asal datang, mengajar.
i.
Lembaga
penghasil guru belum dapat menghasilkan lulusan yang kompeten. Seharusnya para pengelola
lembaga yang menghasilkan lulusan calon guru lebih memperketat sarat
kelulusannya, sehingga tidak menghasilkan limbah-limbah sarjana yang merepotkan
orang lain, lembaga tersebut seharusnya membekali hal-hal yang berkenaan dengan
keprofesian guru walaupun tidak 100%. Apalagi dengan banyaknya IKIP berubah
status menjadi Universitas patut dipertanyakan apakah komitmen untuk mencetak
sarjana pendidikan masih seperti sebelumnya, apakah tidak lebih mengarah kepada
ilmu murni. Kalau yang terjadi sudah demikian bisa bibayangkan bagaimana
pendidikan kita kedepan.
j.
Pelatihan,
work shop dan sejenisnya tidak optimal. Seharusnya rendahnya kompetensi guru yang kita
hadapi ini bisa diminimalisir dengan kegiatan pelatihan, work shop, pemagangan
dan lain sebagainya kalau dalam penyelenggaraannya dilaksanakan dengan
terencana, sungguh-sungguh, berdasarkan based
problem, alokasi waktu yang cukup, dilakukan evalusai yang sungguh-sungguh
(tidak seperti yang selama ini kita ketahui asal datang, absen, masuk kelas
dapat sertifikat. Jika perlu ada remedial untuk peserta yang tidak lulus).
Padahal sudah berapa banyak sumberdaya yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun
sekolah untuk membiayai kegiatan semacam itu namun hasil yang didapat tidak
seimbang dari biaya yang dikeluarkan bahkan ada kecenderungan kegiatan tersebut
untuk menghabiskan anggaran semata.
k.
Penerapan
manajemen sekolah yang tidak pas. Manajemen yang diterapkan oleh
kepala sekolah juga berpengaruh besar terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah
tersebut. Kemampuan manajerial kepala sekolah untuk memberdayakan dan
mengoptimalkan sumberdaya yang ada, memilih dan menentukan pilihan yang tepat
sangat ditentukan oleh kompetensi yang dimiliki kepala sekolah tersebut. Banyak
terjadi guru tidak bisa mengembangkan dirinya karena terbentur oleh kebijakan
kepala sekolah. Masih banyak kepala sekolah yang kompetensinya belum sesuai
dengan standar kompetensi kepala sekolah. Jika ditilik lebih lanjut
ujung-ujungnya juga adanya rekruitmen kepala sekolah yang berbau KKN (mungkin
teman, mungkin team sukses dan lain sebagainya) yang tidak melalui seleksi
khusus dengan kreteria khusus, pelatihan khusus lebih-lebih untuk sekolah
swasta walaupun tidak semuanya.
l.
Kondisi
psikologi guru.
kondisi psikologi guru sangat berpengaruh terhadap proses PBM di kelas,
seberapapun pandainya seseorang ketika yang bersangkutan banyak masalah, marah,
jengkel maka semua kepandaiannya akan berkurang bahkan mungkin hilang. Belum
lagi ketika guru sudah negatif thinking
atau apriori dengan siswa, maka biasanya dalam benaknya sudah tertanam hal-hal
yang negatif tentang siswanya, yang timbul akibat hal seperti ini muncullah rasa
malas mengajar, timbul perasaan tidak ihlas, tidak mau mendoakan siswa bahkan
yang sering terjadi guru akan mengumpat, mengecam bahkan melaknat siswa. Jika
yang terjadi demikian maka akan sulit PBM berjalan sukses, keberkahan ilmupun
akan sulit didapat siswa. (gembok psikologi sang guru, artikel penulis). Lebih
parahnya lagi perhatian kita semua akan kondisi psikologi guru porsinya sangat
kurang seimbang dibanding dengan lainnya. Hal ini dibuktikan
pelatihan-pelatihan, workshop, refreshing dan lain sebagainya masih
banyak berkutat pada metodologi pembelajaran, bidang studi, pemanfaatan
teknologi informasi, sistem evaluasi, kalaupun ada biasanya hanya untuk guru
BP/BK, bukankah yang lebih banyak berhadapan dengan siswa, lebih banyak
mengetahui masalah siswa adalah guru ?
2.
Tingginya biaya pendidikan.
Tingginya
biaya pendidikan di negeri ini masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat,
sehingga tidak sedikit masyarakat yang harus merelakan untuk tidak tidak
melanjutkan putra/putrinya ke jenjang yang lebih tinggi, padahal pemerintah
sudah dengan susah payah mengupayakan agar biaya pendidikan dapat terjangkau
oleh semua lapisan masyarakat bahkan membebaskan bagi yang tidak mampu. Namun
tidaklah demikian yang terjadi dilapangan, walaupun sudah ada BOSS untuk
pendidikan dasar, BKSM, BOMM untuk SMK dan BOPDA untuk daerah tertentu, tidak
dapat menjamin tidak adanya pungutan lagi dari sekolah.
Banyak
alasan sebagai dalih untuk memungut dana dari masyarakat/orang tua/wali murid,
semua berkedok meningkatkan kualitas, ada yang dengan mengadakan les, ada yang
dengan membuat excellent class, ada
yang dengan international school, giant school, perbaikan sarana dan
prasarana, biaya studi banding keluar negeri, kegiatan komite dan lain
sebagainya.
Tidak
salah memang kalau ada masyarakat yang membandingkan sekarang dengan masa orde
baru, masa orde baru biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat tidak sebanyak
sekarang, buku pelajaran dipinjami dari buku paket, sekolah negeri gratis dan
masih banyak lagi alasan yang disampaikan oleh masyarakat, padahal anggaran
pendidikan saat itu masih sangat minim.
Jika
dibandingkan dari mutu lulusan rasanya juga tidak menunjukkan perubahan yang
signifikan saat ini dengan ketika masa orde baru.
Menurut
hemat penulis ada beberapa penyebab tingginya pendidikan kita, diantaranya :
a.
Tidak
adanya standar biaya operasional pendidikan yang akuntabel. Selama ini sekolah
dengan seenakknya sendiri menentukan besaran biaya yang ditanggung oleh
masyarakat/ orang tua/wali murid, kalau toh ada yang mengatakan semua sudah ada
kesepakatan dengan orang tua/wali murid yang diwakili oleh komite sekolah, kita
juga tahu tidak sedikit komite sekolah yang hanya panjang tangan dan corong
kepala sekolah, dibentuk oleh kepala sekolah yang hanya menuruti keinginan
kepala sekolah.
Dengan
tidak adanya standar biaya operasional pendidikan ini bukan hanya masyarakat
yang merasakan beratnya beban yang ditanggungnya, namun pemerintah juga semakin
berat babanya. Bahkan tidak hanya itu akan tetapi kemungkinan adanya main mata,
penyelewengan, korupsi, pungli dan penyalahgunaan anggaran cukup memberikan
peluang.
Dalam
menentukan besaran standar operasional biaya pendidikan tentulah harus
didasarkan pada banyak faktor diantaranya daerah, jenis sekolah, status sekolah
dan juga faktor-faktor lain yang menjadi variabel penyusunan anggaran
pendidikan. Jika hal ini bisa dilakukan tentunya akan dapat membatasi adanya
hal-hal yang tidak diinginkan, menghemat biaya pendidikan yang pada akhirnya
mengurangi beban masyarakat juga beban pemerintah.
b.
Kebijakan
pemerintah yang kurang tepat. Adanya kebijakan pemerintah baik pusat, propinsi
maupun kabupaten/kota yang kurang tepat dalam arti tepat sasaran, tepat guna
dan tepat waktu, sehingga banyak anggaran yang sudah dikeluarkan oleh
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sekolah, tetapi masyarakat masih juga harus menenggung biaya
yang semestinya tidak diperlukan (double
budgeting).
c.
Masih
adanya KKN dan sejenisnya. Dengan adanya KKN dan sejenisnya dilingkungan
pendidikan maka menjadikan pendidikan biaya tinggi, biaya yang semestinya tidak
diperlukan harus dianggarkan walaupun pada praktek penganggarannya dimasukkan
pada anggaran tertentu. (misal : tambahan transport untuk pengawas sekolah,
tambahan transport untuk assessor saat akreditasi, tambahan transport unyuk kepala
sekolah saat melakukan studi banding, workshop, ucapan terima kasih untuk si A
si B yang telah memberikan kemudahan dan bantuan dan lain sebagainya ).
Kalau
toh tidak menambah biaya langsung akibat adanya KKN dan sejenisnya ini sekolah
tetap akan menanggung biaya tidak langsung (misal adanya bantuan yang di sunat
atau untuk memberi ucapan terima kasih kepada si anu, maka pemanfaatan bantuan
akan dibawah standart kelayakan yang berakibat umur teknisnya juga akan berkurang,
pada saatnya akan membutuhkan biaya perawatan atau mungkin penggantian, kemana
lagi sekolah mencari sumber pembiayaan ya tentunya ke masyarakat/wali murid ).
d.
Terjadinya
pemborosan anggaran. Kalau kita perhatikan terjadinya pemborosan biaya ini disebabkan oleh banyak hal diantaranya :
proses pembuatan RAPBS tidak berdasarkan kebutuhan tetapi berdasarkan
keinginan, adanya korupsi dan sejenisnya, kurang pandainya memanage keuangan, kurangnya kreatifitas
kepala/pimpinan sekolah sehingga tidak mampu mengoptimalkan sumberdaya yang ada
sehingga segalanya sesuatunya serba harus membeli baru, kurangnya pengawasan
atau mungkin memang aji mumpung.
e.
Masih
adanya mafia buku dan lembar kerja siswa. Bisnis (jika tidak boleh disebut
mafia) buku atau LKS ini sangat menggiurkan, betapa tidak dalam satu tahun/dua
semester dapat meraup keuntungan yang luar biasa, bahkan untuk sekolah yang
jumlahnya sekitar seribu siswa setahun bisa dapat beli mobil dan itu sudah
menjadi rahasia umum.
f.
Banyak
kegiatan/proyek yang dipaksakan yang ujung-ujungnya keuntungan. Pikiran negatif
dan selalu mencari kesempatan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari sekolah,
biasanya sangat kreatif untuk membuat kegiatan/proyek, teknis, cara dan jenis
kegiatan sangat dipaksakan tanpa mempedulikan aturan dan norma yang ada yang
penting mendapat uang. Kata orang jawa semboyan orang seperti ini adalah “wal-wal keduwal, mbuh kasur mbuh bantal,
mbuh celono mbuh suwal, mbuh sepatu mbuh sandal, mbuh ulo mbuh kadal, mbuh watu
mbuh ungkal, mbuh beton mbuh aspal, mbuh perahu mbuh kapal, mbuh , mbuh, mbuh,
mbuh haram mbuh halah pokok kontal yo diuntal”.
g.
Belum
adanya pemetaan kebutuhan pasar (khususnya SMK). Seperti diketahui bahwa dalam
realitasnya lulusan SMK atau SMA yang masuk dunia kerja amat sedikit yang
sesuai dengan keterampilan yang didapatkan di sekolah, padahal untuk
mendapatkan keterampilan tersebut sangat banyak dikeluarkan biaya, hal ini
karena belum diketahuinya peluang pasar kerja yang tersedia ketika siswa
tersebut lulus, sehingga untuk mengantisipasinya diberikannya keterampilan yang
multi sehingga dapat mengantisipasi jika dibutuhkan. Lain halnya jika kebutuhan
sudah terdeteksi sebelumnya. Bahkan yang lebih konyol lagi, jika yang
bersangkutan bekerja dibagian produksi yang tidak membutuhkan keterampilan
tertentu dan hanya membutuhkan sikap dan
etos kerja yang baik, fisik yang prima serta kemauan kerja dan komitmen
terhadap pekerjaan yang tinggi, maka biaya yang dikeluarkan untuk praktek
keterampilan selama disekolah seakan sia-sia.
h.
Prinsip
efektif dan efisien belum dilaksanakan, keterbatasan kemampuan manajemen
pinpinan sekolah, keterbatasan kreatifitas semua unsur sekolah, tidak adanya sains of crisis, kurang peduli ketebatasan
ekonomi wali murid, rendahnya tanggung jawab terhadap tugas yang diemban atau
tidak memiliki pengalaman.
i.
Tidak
mampunya optimalisasi sumberdaya yang ada. Hal ini terjadi karena kurangnya
kemampuan, pengalaman manajeman atau karena tidak mau bersusah-susah atau
memamg kesengajaan untuk mendapat keuntungan.
j.
Manajamen
tidak tepat, tidak tepatnya pengaturan/memenej terhadap sesuatu hal maka dapat
dipastikan akan terjadi pemborosan.
k.
Prinsip
yang keliru, anggapan bahwa prestasi selalu dikaitkan dengan uang, prinsip
inilah yang digembar-gemborkan oleh penyelenggara pendidikan, kepala sekolah
bahkan mungkin juga guru sehingga timbul image dimasyarakat bahwa kalau ingin anaknya pandai ya harus
bersedia keluarkan anggaran lebih.
l.
Tidak
memahaminya filosofi dasar pendidikan, sehingga melakukan sesuatu, mengadakan
sesuatu, membeli sesuatu bukan atas dasar kebutuhan tapi keinginan
m. Aji mumpung, mendirikan sekolah
dengan tujuan bisnis semata
n.
Daya
dukung ekonomi masih sangat rendah sehingga belum mampu menjangkau kebutuhan
biaya pendidikan,
BAB
III
ALTERNATIF
PEMECAHAN MASALAH
Dari permasalahan
yang ada maka diusulkan beberapa penyelesaian masalah, tentunya didasarkan pada
segala kemampuan dan kekurangan yang ada yang diharapkan dapat memberikan
perubahan yang signifikan terhadap perkembangan dunia pendidikan kita baik secara
bertahap atau mungkin diperlukan penanganan cepat/revolusioner. Adapun alternatif
yang dimaksud adalah :
a.
Menstop
dan tidak memberikan ruang sedikitpun terjadinya KKN pada pelaksanaan
rekruitmen tenaga pendidik baik yang bersatus PNS juga non PNS, hal ini untuk
memutus mata rantai agar tidak lagi didapat tendik yang tidak professional yang
hanya menyulitkan semua fihak, menghambat tercapainya tujuan sekolah bahkan
tujuan pendidikan nasional.
Jika
dipandang perlu untuk tendik yang berstatus non PNS sekalipun, jika tetap
terjadi pelanggaran maka sekolah yang bersangkutan akan dikenahi sanksi seperti
tidak diberikan tunjangan apapun untuk guru yang tidak memenuhi kreteria
kelayakan. Rekrutmen yang paling tidak karuan paling banyak terjadi di sekolah swasta.
b.
Mensyaratkan
test bidang psikologi dan pengalaman sosial kemasyarakatan pada calon tenaga
pendidik, atau calon penerima sertifikat profesi tenaga pendidik, karena pada
dasarnya kondisi psikologi seseoranglah yang memacu yang bersangkutan untuk mau
berbuat sesuatu. (terlampir hasil kajian penulis).
c.
Memperketat
pemberian sertifikat profesi tenaga pendidik, tidak seperti selama ini yang
hanya formalitas semata (PTK, Sertifikat, SK aspal dan diperjual belikan) yang
berakibat tidak membawa dampak positif yang signifikan dengan anggaran negara
yang dikeluarkan. Terkecuali bagi yang sudah usianya diatas 50 tahun sebagai reward masa pengabdiannya, jika
dipandang perlu baik yang sudah mendapat sertifikasi dalam kurun lima tahun
dilakukan uji ulang dan jika memang diketahui tidak layak sertifikat bisa
dicabut kembali. Karena pelaksanaan sertifikasi yang selama ini dilakukan hanya
formalitas diatas kertas saja. Bahkan sangat mungkin juga dilakukan mutasi dari
tenaga pendidik ke staf administrasi dan lain sebagainya.
d.
Tidak
memperbolehkan guru PNS mengajar rangkap dengan sekolah swasta (terkecuali
untuk daerah khusus) dan memberikan sangsi tegas baik kepada yang bersangkutan
maupun kepada lembaga tempat yang bersangkutan ditugaskan atau merangkap.
Karena salah satu penghambat terbesar pada masalah guru adalah adanya guru yang
mengajar dibeberapa tempat. Biasanya sering bolos, meninggalkan kelas, tidak
tertib administrasi, sering sakit karena kecapekan, hanya menyuruh siswa
menulis yang bersangkutan ngantuk kecapekan, tugas siswa tidak pernah dikoreksi
dan hanya dipakai alat untuk tidak mengajar, tidak mau ditugaskan untuk
pelatihan dan lain-lain. Efek samping dari tidak diperbolekannya guru PNS
rangkap jabatan adalah terbukanya peluang
bagi lulusan-lusan yang baru.
e.
Mengadakan
test terhadap semua kompetensi guru sebagai pemetaan untuk melakukan up grading /pelatihan terhadap segala aspek
kompetensi tenaga pendidik yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara prosedur
yang benar dan dilakukan dengan sungguh-sungguh termasuk evaluasi hasil
pelatihan yang tetap harus menggunakan standart lulus atau tidak lulus (tidak secara otomatis peserta
pelatihan lulus dan bersertifikat seperti selama ini).
f.
Mengetatkan
aturan ketenagaan tenaga pendidik atau menjalankan secara ketat tugas dan
kewajiban tenaga pendidik.
g.
Hampir
semua penyimpangan dan penyalahgunaan itu bermula dari kepala sekolah maka rekrutmen
kepala sekolah harus berdasarkan kompetensi yang ada sehingga kepala sekolah
tidak hanya berfikir untuk mendapatkan uang yang sebanyak banyaknya baik untuk
kepentingan pribadi atau mengembalikan uang untuk pelicin ketika berebut jadi
kepala sekolah.
h.
Memperketat
pelaksanaan akreditasi sekolah. Jika perlu tim akreditasi/BAS/BASDA dapat
mengusulkan untuk pembubaran atau memerger
sekolah yang dianggap tidak sehat dan tidak mungkin lagi dilakukan pembinaan.
i.
Memberikan
apresiasi kepada lembaga, sekolah, guru/instruktur, karyawan dan siswa yang
menunjukkan prestasinya. Mungkin melalui bea siswa, kenaikan pangkat,
pengangkatan jadi PNS, bahkan mungkin berupa tunjangan khusus. Pemberian
bantuan peralatan, RKB, Rehab atau jenis bantuan lain yang menunjukkan bahwa
mereka dapat bantuan karena berprestasi. Tidak seperti selama ini mohon maaf
yang dekat ya dapat.
j.
Memerketat
dan lebih selektif pemberian ijin pendirian sekolah baru atau program keahlian
baru agar tidak menambah deret hitung sekolah yang standar sarprasnya masih
sangat jauh dari yang ditentukan yang sekaligus membatasi ruang gerak yang
hanya berorientasi bisnis semata.
k.
Memulai
untuk membatasi sekolah yang masuk siang hari dengan jalan member
status akreditasi maksimal B untuk sekolah yang masuk siang hari, sekalipun
berstatus giant school atau sekolah
standart internasional. Tidak mungkin bisa efektif pembelajaran yang dilakukan
di sore hari, baik yang disebabkan kondisi guru, cuaca, situasi dan lain
sebagainya.
l.
Menyempurnakan
kurikulum pendidikan agama yang tidak hanya berorientasi pada tata cara ibadah
mahdloh akan tetapi lebih banyak mengacu pada ibadah sosial bagi peserta didik
tingkat atas, dan kewarganegaraan yang bisa membentuk karakter siswa dan
meningkatkan nasionalisme setiap peserta didik yang dapat menjadi bekal lulusan
terjun di dunia kerja atau dimasyarakat. (terlampir kajian penulis).
m. Menghapus kebijakan hasil UAN
sebagai salah satu penentu kelulusan siswa.
n.
Memanfaatkan
buku tulis yang beredar dipasaran sebagai media pembelajaran , misal cover
depan dan belakang atau beberapa lembar
dimanfaatkan untuk gambar para pahlawan
dengan sedikit ceritanya, peta suatu daerah dengan segala macam potensinya, rumus-rumus
matematika, fisika, bahasa inggris, dll.
o.
Mewajibkan
adanya simbol merah putih bertulis pelajar Indonesia yang terpasang di lengan
bahu kanan setiap pelajar Indonesia apapun jenis seragamnya.
p.
Menata
kembali model penganggaran yang secara otomatis bisa mencegah sekurangnya
menimalisir terjadinya pungli, korupsi, penyalahgunaan fungsi dan apapun
jenisnya penyalahgunaan itu sehingga masyarakat tidak terbebani biaya
pendidikan diluar kemampuan ekonominya dan penganggaran yang cukup besar oleh pemerinta efektif dan
efisien.
q.
Menentukan
besaran biaya operasional yang benar-benar realistis pada masing-masing daerah
dan menindak tegas bagi pelanggarnya.
r.
Remedial,
tambahan pelajaran dan apapun namanya adalah merupakan tanggung jawab tenaga
pendidik dan tidak diperbolehkan untuk dikomersilkan.
s.
Menghapus
adanya mafia buku pelajaran, lembar kerja siswa dengan jalan menyediakan buku
paket pelajaran oleh pemerintah pusat dan lembar kerja siswa disediakan oleh
pemerintah propinsi atau kabupaten/kota.
t.
Menganggarkan
biaya ujian nasional dan ujian sekolah yang tepat baik jumlah anggaran atau
waktu pencairannya, sehingga sekolah tidak ada alasan lagi untuk memungut dari
siswa yang biasanya memeng dipakai aji mumpung oleh para pengelolah sekolah,
sehingga ada istilah HAJI SUEB atau HAJI SUSUK EBTA.
u.
Semua
sekolah termasuk swasta harus bersedia melaporkan keuangannya dan bersedia
diaudit pihak eksternal setiap akhir tahun pelajaran sebagai syarat
lembaga/sekolah tersebut untuk menerima bantuan. Hal ini menghindari adanya
sekolah digunakan sebagai ajang bisnis yang saat ini mulai menunjukkan
tanda-tandanya.
v.
Mendirikan
unit sekolah baru yang lebih terjangkau oleh masyarakat pedalaman.
w. Membebaskan dunia pendidikan dari
unsure politik.
PENUTUP
Sebagai penutup
tulisan ini penulis bersyukur kehadlirat Allah SWT atas segala pemberian dan
kasih saying-Nya sehingga dengan segala keterbatasan tulisan ini dapat
terselesaikan. Walaupun secara kaidah tulisan kurang benar, bahasa yang
digunakan kurang baik serta data dan referensi tidak terkutip secara baik bagai
sebuah penelitian, namun isi dan kandungan tulisan ini sangat realistik walaupun kadang sulit untuk dibuktikan. Untuk
itu penulis tetap berharap agar tulisan ini banyak manfaatnya untuk perbaikan
dunia pendidikan kita kedepan. Amin Ya Robbal Alamiin.